Mohon tunggu...
Wignya Cahyana
Wignya Cahyana Mohon Tunggu...

Menulis di atas layar sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Akhir Tahun Rakyat Miskin Pinggiran Sungai Jogja 2013

6 Januari 2014   06:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

dikutip dari Dokumen Paku Bangsa: "CATATAN AKHIR TAHUN RAKYAT PINGGIRAN SUNGAI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2013"

Setiap akhir tahun, kita rakyat pinggiran sungai selalu memikirkan jarak antara harapan dan kenyataan. Tahun beralih tahun, sementara menyaksikan gemparnya kembang api tiap penghabisan bulan Desember, yang masih juga sulit kita mengerti faedahnya, kita berjalan dengan pikiran yang berbeda. Kita belajar untuk mempercayai kenyataan, sebelum lancang bercongkak soal kepercayaan kepada Yang Tak Nampak.

Kita tidak mungkin menyulap malam tahun baru menjadi acara dongeng tidur malam ataupun pagelaran wayang politik semalam suntuk. Kita lebih terbiasa memasang harapan mulai dari dasar kenyataan dan memeriksa kenyataan sebagai persiapan ke arah harapan. Maka, refleksi akhir tahun bagi kita bukanlah kerja menghamburkan uang ataupun membuang sial, melainkan kerja refleksi dimana kita mencatat fakta-fakta historis sepanjang tahun secara pelan dan disiplin sehingga menyimpulkan dasar tindakan yang nyata untuk sejarah tahun depan.

Tahun 2012 yang lalu, pada bulan Desember seperti ini, kita rakyat pinggiran sungai di Yogyakarta mengalami tahun represi dan persatuan. Kita mengalami represi oleh proses pemiskinan yang terus-menerus melalui peningkatan harga-harga kebutuhan dasar hidup, jeratan rentenir, kekurangan jaminan sosial, dan represi kekuasaan negara terhadap kekuatan massa rakyat, lebih-lebih di sektor agraria atau hak dasar rakyat sebagai pemilik tanahair. Kenaikan harga BBM menaikkan pula harga-harga kebutuhan dasar rakyat. Akibatnya, semakin banyak rakyat terjerat rentenir lantaran bank lebih suka melayani kaum bermodal. Rakyat Pogungrejo dan Blunyahgede mengalami intimidasi dari aparat kelurahan, polisi, dan militer, ketika dipaksa menandatangani pernyataan sewa tanah. Rakyat Blunyahgede bahkan sempat dicabut hak-hak sipilnya dengan tidak dibuatkan KTP dan tidak dilantik sebagai ketua RT dan RW meski telah dipilih melalui pemungutan suara warga. Kita mengalami secara konkrit mimpi terburuk demokrasi justru di era reformasi dan justru di daerah istimewa ini. Tahun 2012 ditutup dengan kejadian penggusuran pedagang kecil yang terhimpun dalam organisasi kita (APKY) dari titik nol Kota Yogyakarta.

Rasa senasib sebagai rakyat yang disingkirkan dari kepentingan penyelenggaraan negara justru memperkuat barisan massa kita. Kita semakin berani menaruh harapan untuk terus menyatukan kekuatan terorganisir. Kita semakin sering beraktivitas dalam disiplin organisasi dan mengurangi kerja-kerja individualistik. Pada taraf minimal, organisasi belajar meringankan beban kebutuhan hidup rakyat melalui pembangunan koperasi rakyat dan bimbingan belajar anak-anak. Pada taraf maksimal, organisasi berjuang keras memperkuat diri demi mempertahankan hak atas tempat tinggal rakyat.

Sebentar lagi kita akan mengakhiri tahun 2013. Pada momentum akhir tahun kali ini, kita kembali menemukan persoalan dan harapan kita. Di bidang pelayanan sosial, kita masih mengalami pemiskinan sebagai akibat dari mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 2013, kita justru semakin sering dipaksa menjalankan advokasi massal untuk menekan negara cq pemerintah daerah agar menjalankan program jaminan kesehatan dan pendidikan secara adil, sistemik, dan nyata. Tampaknya, negara Pancasila ini barulah bersedia menjadi manusiawi sesudah ditekan keras oleh rakyatnya sendiri. Pada kenyataannya, angka putus sekolah tidak menurun dan tingkat pendidikan tidak bertambah. Kita bisa bernafas lega bila

Di bidang agraria, tahun 2013 dibuka dengan kejadian penggusuran kios milik kawan-kawan kita di Suryowijayan. Petugas Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta merobohkan lima kios di atas tanah magersari di Suryowijayan, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, pada hari Senin, 28 Januari 2013.Kios yang digusur adalah milik Mantodiharjo, Heru Marjono, Parjono, Prayitno, dan Eddy Sukarna di atas tanah seluas 124 meter persegi yang diklaim sebagai tanah magersari milik Keraton Yogyakarta. Penggusuran ini mengedepankan prinsip legalistik administratif ketimbang tugas dan tanggungjawab penguasa atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu karena warga tidak bisa menunjukkan surat kekancingan yang dikeluarkan Keraton. Pada kenyataannya, warga sudah pernah mengajukan permohonan kekancingan tetapi tidak pernah dijawab oleh termohon.

Sementara itu, kawan-kawan pedagang APKY di titik nol Kota Jogja masih juga dikejar-kejar Satpol PP tanpa mendapatkan solusi maksimal dari penguasa. Puluhan rumah dari sedikitnya 4 (empat) kampung mengalami penggusuran, yaitu di kampung Terban, Gondolayu, Gemblakan, dan Ratmakan. Perjuangan hak atas tempat tinggal di kampung Blunyah Gede dan Pogungrejo dihambat oleh kepentingan kapitalis birokrat melalui politisasi anti-rakyat atas administrasi pertanahan, justru setelah kita menjalankan prosedur resmi secara disiplin sebagaimana diatur menurut Undang-undang Pokok Agraria. Saat ini, kita juga masih ditantang bilamana akan terjadi penggusuran di kampung Jetisharjo, Kricak, Juminahan, Jagalan, Cokrodirjan, dan Sayidan. Kita telah belajar dari banyak kejadian dan data, bahwa di atas sadel kendaraan yang bernama suci “program penghijauan”, “penataan wilayah”, “kesiagaan bencana”, dan “pendirian bangunan publik“ selalu terbuka peluang bagi para pemadat uang untuk membonceng secara alim aristrokrat hanya untuk merampas tanah rakyat, membuang rakyat miskin, mendirikan bangunan bisnis, memproduksi polusi dan kemacetan lalu-lintas, dan akhirnya malah menambah sumber ancaman bencana.

Tetapi, kita tidak ingin kehilangan harapan. Negara Revolusi 45 ini pernah didirikan melulu untuk kepentingan rakyat. Kita akan berjuang untuk membalik wajah negara yang korup ini, dari pandangan genitnya terhadap kapitalisme dan individualisme menuju tanggungjawab politik sejatinya; yakni membentuk tatanan sosial, ekonomi, dan budaya yang adil, demokratis, dan pro rakyat. Tahun 2014 adalah tahun tuntutan rakyat pinggiran sungai atas hak dasar hidup layak.

Ke dalam, kita menancapkan sejumlah tekad. Kita bertekad untuk menambah pendapatan ekonomi kita dengan meningkatkan kapasitas produksi di Koperasi Rakyat. Kita juga bertekad untuk memperluas cakupan wilayah penyelenggaraan Sekolah Rakyat agar angka putus sekolah dapat kita kurangi. Kerjasama beasiswa dengan Yayasan Anak-anak Terang (AAT) dan sumber lainnya juga akan kita perkuat. Berkolaborasi dengan Gerakan Kesehatan Rakyat (GKR) serta organisasi kesehatan pro rakyat lainnya, kita hendak meringankan beban biaya kesehatan yang semakin hari semakin terkapitalisasi. Kita juga memiliki harapan yang berasal dari fakta bahwa perjuangan kita bakal menerima semakin banyak kawan, mengingat semakin banyak pula rakyat yang senasib atau sekepentingan dengan kita.

Ke luar, kita tetap menuntut negara melaksanakan tanggungjawabnya secara nyata dan terukur sampai terpenuhinya hak-hak dasar rakyat miskin. Bebaskan rakyat dari biaya kesehatan dan pendidikan! Kesehatan dan pendidikan bukanlah komoditas jual-beli melainkan hak kemanusiaan dan hak kebudayaan warganegara yang harus diberikan oleh negara tanpa syarat. Negara juga bertanggungjawab atas daya beli rakyat terhadap barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun