Seikat Mawar Putih untuk Ibu
Oleh : Wigati Hati Nurani
      Kusingkap selimut tebal perlahan. Masih enggan beranjak dari Kasur ini rasanya. Gigil dinihari tak mampu dipungkiri. Alarm gawai  terus berdering, memaksa jemari menyentuhnya. Seketika berhentilah alunan nada itu, menyuruhku untuk menyibak kemalasanku. Kutunaikan empat rakaat sunnah malam, lanjut tiga witir.
Tak kujumpai Ibu, di hamparan Sajadah panjangnya. Biasanya, setiap aku akan Tahajud, Ibu telah selesai menunaiakan qiyamul lail. Kulihat Ibu  masih dengan Mushafnya, mengalunkan lirih Khalam Ilahi. Sedemikian merdu, menyentuh  relung setiap makhluk yang mendengarnya. Ibuku memang seorang Qoriah. Dahulu Ketika Aku masih kelas 5 SD  Ibu pernah mendapat Juara Satu MTQ tingkat propinsi.
"Salma sini nduk," kata ibu begitu aku melepas mukena.
"Ibu ingin berpesan padamu,"lanjut ibu sambil menyuruhku duduk. Aku menurutinya, kucium tangan beliau penuh takzim.
Lalu ibu bercerita, kalau dalam seminggu kedepan akan ke Luar Kota, Kota Propinsi yang berjarak sekitar 100 Km dari tempat tinggal kami. Mengisi suatu acara pelatihan untuk para Guru disana. Sebagai putri tertua dari tiga adeku yang semua masih kecil, Ibu selalu berpesan padauk setiap akan bepergian. Meskipun usiaku baru 15 tahun, tetaplah  tanggung jawab itu Kutunaikan sebisaku.
Ibu perpesan padaku, agar menjaga adek-adek. Semua keperluan bahan makanan sudah disiapkan ibu selama kepergiannya. Aku sudah diajari memasak sendiri yang mudah untuk makan sehari-hari. Kedua adekkupun sudah bisa membantu. Yah, sejak dini kami memang diajari mandiri, saling membantu dan menyayangi satu sama lain. Dan kami menjalani dengan  sukacita, karena kesabaran dan tauladan ibu  pada kami. Tak lupa ibu berpesan untuk menyirami mawar putih yang banyak tumbuh dihalaman rumah kami. Mawar putih kesukaan Ibu. Tempatnya mengalihkan dari segala kepenatan dan keletihan hidupnya.
Ibu tak pernah mengeluh. Tak pernah sekalipun, bahkan Sejak Bapak dipenjara untuk kedua kalinya. Ibu terbiasa hidup mandiri dan susah Bersama kami anak-anaknya. Baginya, anak-anak prioritas utama dalam segala hal. Ibulah orang tua tunggal yang sebenarnya. Karena sampai usiaku sebesar ini, tak pernah kujumpai peran Bapak. Kami hanya bertemu sesekali. Kata Ibu, bapak bekerja diluar kota. Sampai akhirnya tak sengaja kubaca disebuah koran online nama Bapaku disebut sebagai penggelap mobil dan dipenjara.
Bagiku, Ibu adalah segalanya. Tauladan semuanya. Menjalankan segala peran, kepala rumah tangga, sahabat sekaligus ibu pengayom dan pelindung. Menyayangi, mengasihi dan mencintai. Ibu mendidik dan mengajarkan semua hal, bahkan yang tidak menjadi tanggung jawabnya sekalipun.
Kini, sepuluh hari sudah Ibu belum juga pulang. Pelatihan satu minggu yang diadakan harus berhenti pada hari kedua. Ada seorang peserta yang mendadak  demam tinggi. Semua peseta dilakukan Swab, dan Ibu harus menjalani Isolasi di Rumah Sakit kota propinsi, karena hasil Swab nya posif Covid. Sedih sudah pasti kurasakan, terlebih kami tinggal dikota kecil yang jauh dari sanak saudara. Segala persaan harus kutepis, demi adek-adeku. Aku tak ingin menampakan didepan mereka. Terlebih dengan Ibu, pasti disana Ibu  juga merasakan hal yang sama.