Mohon tunggu...
Wigati Hati Nurani
Wigati Hati Nurani Mohon Tunggu... Guru - Guru dan suka menulis

Membaca, Menulis, Travelling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Atas Kubah

7 September 2023   11:55 Diperbarui: 7 September 2023   12:06 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja di atas Kubah

Oleh : Wigati Hati Nurani

Aku tak tahu lagi kemana akan mencari kesembuhan. Dokter di Rumah Sakit Jiwa, sudah membolehkanku pulang setelah empat minggu aku dirawat disana. Setiap hari yang kutemui bayang-bayang hitam, besar dan menakutkan. Tetapi lambat laun dia tak menjumpaiku lagi. Seiring gencarnya aku mengusirnya pergi dan tak kuiijinkan dia mengikutiku. Kata dokter, aku berhalusinasi berlebihan sehinggga makhluk itu senang berteman denganku. Obat yang diberikan padaku, bisa membuatku tenang dan melepaskan dari belenggu makhluk itu. Entahlah. yang jelas, aku sudah merasa rileks dan plong.

Pohon-pohon trembesi dengan bunga ungu hampir memenuhi puncuk-pucuk daun. Aku selalu memandang dan menikmatinya. Lalu kuposisikan diriku bak putri bangsawan yang dikelilingi para dayang. Membawakan aneka makanan dan segelas lemon juice kesukaanku. Ah, aku ngimpi lagi. Sementara bunga tabebuya dengan warna dominan pink dan putih berderetan di sepanjang jalan masuk ke rumah sakit. Sungguh aku menyukainya. Kuntum-kuntumnya tak berhenti berguguran. Apalagi semilir angin berhembus menerbangkan bunga itu lebih cepat jatuh ke tanah. Menyuguhkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Kalau tak disuruh pulang oleh dokter, aku lebih senang berada di rumah sakit jiwa ini, dibandingkan di rumah nenek atau di tempatku sekolah.

Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku harus sembuh dan menatap masa depanku. Aku masih ingin bertemu kedua orang tuaku. Aku ingin memperoleh jawaban langsung dari keduanya. Terutama dari Bundaku, mengapa aku ditinggalkannya pergi begitu saja. Aku masih sangat ingat, meskipun usiaku saat itu baru 6 tahun. Aku menarik-narik baju Bunda, mendekap kakinya agar Bunda mengurungkan niatnya lagi untuk merantau ke negeri orang. Aku meronta-ronta. Dan tangisanku tak mampu mencegah kepergian Bunda.

Beruntungnya nenek mampu menenangkanku. Pelukan hangatnya mampu memberikan rasa aman dan nyaman padaku. Hari-hari selanjutnya aku tumbuh dan besar dalam perawatan, didikan dan kasih sayang nenek. Aku tak mau mengecewakan nenek. Betapa nenek sedih melihat aku sakit. Aku juga ingin sembuh dan tidak ingin makhluk itu terus membuatku putus asa. Kesedihan yang terus kurasakan, juga putus asa dan kecewa atas apa yang selalu menimpaku. Beberapa kali pelecehan dan bulliyan pernah kualami. Aku menjadi benci pada diriku sendiri. Mengapa aku tidak tumbuh menjadi gadis seperti teman-temanku. Jika aku histeris dan membanting benda apa saja yang di depanku, orang menyebut aku kesurupan. Entahlah, aku tak tahu.

Hingga suatu saat, sepulang sekolah, aku duduk di bangku taman di depan sebuah masjid besar. Masjid Agung, alun-alun kota .  Entah apa yang membawa langkah kaki ini ke tempat ini. Setelah salat asyar, aku sengaja tidak pulang ke rumah. Sudah lama aku ingin salat di masjid ini. Ku pandangi Kubah Masjid dari kejauhan. Ada desiran hangat mengalir di dada. Sinar keemasan dari matahari membaur melingkupi kubah. Nampak anggun memikat. Semburat warna  jingga memancar di sekitar bulatan besar orange kemerahan sang surya yang perlahan akan tenggelam Aura kebesaran akan kasih Yang Maha Kuasa kurasakan.

"Indah Ciptaan-Mu Yaa Rabb," tak sadar aku berkata pada diri sendiri. Senja di atas Kubah Masjid seakan menyihirku.  Aku merasakan aura ketentraman karenanya. Rasa damai bila aku ada di dalamnya.

"Salma!" tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku. Aku menoleh. Seseorang bergamis hitam tersenyum padaku.

"Lupa ya sama aku? Aku Maya temanmu SMP." Aku mencoba mengingat-ngingat.  Setelah menjelaskan panjang lebar, barulah aku sedikit mengingatnya. . Kami lalu saling bercerita masa sekolah di SMP

Lalu Maya mengajaku masuk ke dalam Masjid lagi, untuk ikut pengajian. Katanya setiap hari Selasa selepas Asyar selalu ada pengajian khusus akhwat di Masjid itu. Aku mengikuti ajakan Maya. Aku memang jarang mengaji dengan ustadzah secara langsung. Biasanya kalau ingin mendengarkan tauziah aku mengikuti lewat You Tube. Pikiranku mungkin dengan mendengarkan pengajian, bisa mengobati kegundahan hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun