Kita tentu tak mungkin memutar sejarah ke belakang. Sejak reformasi bergulir, perjalanan Bangsa ini terasa semakin berjalan kearah yang tak menentu.
Terlalu banyak energi dihabiskan untuk berdebat. Sementara Keadilan Sosial dalam hal ekonomi semakin jauh dari impian. Celakanya, "penikmat' ketidakadilan itu justru paling keras mengklaim sebagai dialah pembela NKRI sejati. Betapa Ironinya.
Reformasi sejatinya merupakan upaya kita agar pemerintahan berjalan secara demokratis sehingga diharapkan Kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berkeadilan akan lebih cepat terwujud. Ternyata jauh panggang dari api! Reformasi yang dipelopori Amien Rais ketika itu ternyata pada perjalanan Bangsa kekinian, hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang atau profesi.
Angka kesenjangan semakin jauh. Reformasi yang dilandasi oleh pemberontakan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto tanpa mempertimbangkan konfigurasi IPOLEKSOSBUD masyarakat, membuat masing-masing kelompok mengeksploitasi segala sumber daya kelompoknya.
Orang atau kelompok yang telah dibesarkan oleh Reformasi ternyata telah melupakan orang atau kelompok yang jauh dari pusat kekuasaan. Mereka tetap tidak sejahtera.
Awalnya, kita berharap pada media baik cetak maupun elektronik untuk berperan sebagai pembawa berita yang jujur, tidak berpihak, tidak membesarkan atau mengecilkan beritanya (sesuai dengan keinginan/haluan politik pemilik modal), tapi ternyata Media saat ini justru telah berperan menjadi pengatur informasi apa yang mesti diberikan kepada masyarakat.
Sebagai contoh, sangat sedikit media yang mengulas kematian 2 orang bocah yang menghadiri acara FUI di Monas, sementara masalah ibu Susi sambung menyambung. Seolah-olah Media telah kehilangan jiwa, Media saat ini telah tidak lagi berpihak pada aspek kemanusiaan, tidak berpihak pada rakyat miskin.
Itulah yang menjadi sebab, mengapa saat ini telah terjadi pandangan yang luas di akar rumput bahwa apapun yang diusulkan di Media cetak atau elektronik, sesungguhnya hanya membawa kepentingan pemilik Media dan Kapitalis.
Maka rakyat yang terpinggirkan tadi akan mudah diyakinkan utk memilih yang sebaliknya. Harusnya, pengambil keputusan menyadari ini dan mulai untuk tidak mendengarkan Media mainstream saja. Perlu ada larangan untuk berpolitik praktis bagi pemilik Media.
Jangan melawan Alam. Jangan melawan ilmu Alam. Menurut ilmu Alam, sesuatu baru bisa dikatakan bunyi (gaduh) bila ada sumber, media dan orang yang mendengar. Bila pemilik Media berpolitik praktis, maka bukan tidak mungkin "jarum" yang terjatuh jauh akan diberitakan seolah-olah yang jatuh itu adalah "bom".
Karna ini tahun Politik, menurut saya bila terjadi kegaduhan di NKRI tercinta ini maka Media mainstream wajib bertanggung jawab.