Selamat datang Tahun 2018 dan selamat tinggal Tahun 2017. Tahun ini dan Tahun depan adalah Tahun dimana Bangsa ini akan menghadapi guncangan dan ujian yan maha berat. Itulah dia Tahun Politik, Konon katanya, Politik itu kotor, Politik pasti akan menghalalkan segala cara, Pelaku Politik akan melakukan apapun demi mencapai tujuannya. Siapapun dia. Apakah dia yang telah mencitrakan diri sebagai politikus "baik", politikus "alim", apalagi politikus oportunis.
Bagi Negara Indonesia yang "baru diikat" menjadi sebuah Negara setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, tentu saja Tahun Politik 2018-2019 bisa diramalkan akan mengguncang tali persaudaraan sesama anak Bangsa. Padahal, bila Tahun Politik ini tidak ada, tali persaudaraan antar rakyat yang berbeda Suku, Agama, Ras atau dari golongan mana dia berasal sepertinya tetap harmonis.Â
Lantas pertanyaannya, apakah tidak perlu dibuat PILKADA atau PILPRES? Tentu perlu. Harapan kita sebagai Rakyat bagaimana Pemerintah mempersiapkan PILKADA dan PILPRES nanti menjadi sebuah pesta rakyat yang sebenarnya. Namun karna kita bukan berada di ruang hampa, tentu tidaklah mungkin PILKADA dan PILPRES nanti hanya menjadi konsumsi dalam negeri saja.Â
Pasti Kepentingan Negara Asing akan dititipkan pada Pemimpin baru nanti. Bila tidak bisa membawa kepentingan Negara Asing atau Koalisi mereka, maka pasti calon pemimpin itu akan cepat-cepat disingkirkan agar dia dilupakan.
Hal itulah yang membuat saya terkenang kepada Jenderal (TNI) Gatot Nurmantyo. Dia diberhentikan lebih cepat beberapa bulan dari usia pensiunnya sebagai Panglima TNI. Sesuatu hal yang tidak lazim dalam tradisi pergantian seorang Panglima TNI. Lebih tidak lazim lagi, semua Media mainstream tidak ada yang "meratapi" pemberhentiannya ini.Â
Semua Media mainstream mengatakan bahwa pergantian Panglima TNI adalah Hak Prerogatif Presiden. Memang tidak ada yang salah dengan pernyataan Media mainstream itu. Seolah-olah Jenderal Gatot adalah Panglima TNI yang biasa-biasa saja. Begitulah hebatnya peran Media mainstream untuk mengecilkan peran Jenderal Gatot ketika memimpin TNI dan keteguhan sikapnya dalam memposisikan TNI sebagai alat pemersatu Bangsa.Â
Jenderal Gatot bukan Politikus. Bila dia Politikus, tentu dia tidak berfihak pada kebenaran, tentu dia tidak pernah berani mengungkapkan bahwa Pemimpin Besar TNI itu lahir dari "perut" umat Islam. Tentu dia tidak akan berada di tengah-tengah jutaan umat Islam yang Protes. Karna dia tahu bila berada dalam perahu Umat Islam maka akan sulit mendapat simpati dari Media Mainstream.Â
Dia tahu betul bahwa umat Islam Indonesia ini hanya banyak jumlahnya saja, tapi tidak kuat dalam hal  kualitas, pendanaan, jaringan Internasional dan lemah di penguasaan Media. Kalau dia Politikus, tentu dia tidak akan mempermalukan Australia karna harus meminta maaf kepada Negara setelah menghina Pancasila. Kalau dia politikus, tentu dia tidak akan memberitahu kepada rakyat Indonesia bahwa Negara-Negara Asing sudah merencanakan untuk mengambil sumber daya kita, sehingga semakin jelas bagi rakyat dan membuat rakyat semakin waspada dengan pergerakan Negara Asing. Dia tahu betul bahwa menyembunyikan rencana Negara Asing ini akan membuat dia safe dalam kontestasi politik Nasional.
Bagi saya, Jenderal Gatot adalah Negarawan. Dia adalah pemimpin sejati. "Pemimpin sejati tidak butuh memimpin, Ia lebih senang menunjukkan arah" (Henry  Miller).
Wallahualam bissawab.
Syarif.wien@gmail.com