Mohon tunggu...
Wienndy Dy
Wienndy Dy Mohon Tunggu... -

Suka baca, kayak pp-nya.. Suka pantai, jadi terbawa santai.. Suka tidur, tapi jarang bermimpi.. Karenanya, aku tidak punya banyak impian :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergilah Bunda, Jika Sudah Tak Sanggup...

27 Februari 2012   08:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desir angin terdengar menyayat hati.Hujan rintik-rintik tak berhenti sejak sore hari,terkadang tampias seakan mengetuk jendela. Aku masih terbangun sendiri, di saat malam sudah lama turun. Terduduk letih di atas kursi kamar ini. Sayup terdengar denting jam dari ruang depan. Ternyata sudah jam dua dini hari.

Helaan nafasku seakan menggema di kamar ini. Kesedihan itu belum berlalu, malah semakin berat dari hari ke hari. Energiku untuk bertahan sudah hampir habis terkuras emosi terpendam dan sakit ini.

Aku baru tahu aku sakit minggu lalu. Dan vonis dari dokter seolah makin membawaku sumur kepedihan terdalam. Kanker usus, stadium akhir. Sisa usiaku sudah terprediksi. Tidak sampai setahun. Kuraba perutku yang mengeras bagai kayu.

“Dina...” Lirih kupanggil nama si sulung. Menit demi menit berlalu. Angin bertiup semakin kencang. Hujanpun seakan menangis. Sepertinya Dina hadir. Dan mereka berbicara dalam batin.

***

Pengakuan jujur suamiku membuatku terhenyak. Di sudut mata, kulihat Ibu lunglai dan nyaris terjatuh. Dina, perempuan yang manis, tergopoh-gopoh menyambut tubuh Ibu. Tangannya membantu Ibu untuk duduk di kursi. Si bungsu kami, lelaki kebanggaanku berlari keluar ruangan tanpa kata. Lelaki itu, suamiku selama dua dasawarsa itu berdiri seolah tidak menyesali apa yang telah dilakukannya telah menghancurkan keluarga kecil kami yang hangat. Hangat, setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. Atau mungkin kehangatan setahun terakhir yang bisa dirasakannya, tanpa aku mengetahui hati dan raganya telah terbagi. Dan dia memilih meninggalkan kami untuk menyatukan bagian hati dan raganya dengan wanita itu. Ibu mencoba mencegahnya.

“Ibu, nggak usah. Ari sudah memilih. Nggak ada yang bisa Nita lakukan lagi untuk memintanya tetap tinggal disini dengan kita...” Hanya itu yang mampu kuucapkan. Tanpa air mata walau begitu terluka.

Sungguh, aku tidak tahu sejak kapan semua itu. Dia terlalu pandai untuk menutupi perbuatannya. Atau aku yang terlalu naif dan tidak bisa membaca keadaan? Hingga sampai hari ini, dimana dia telah memutuskan semuanya. Kupandangi punggungnya yang akhirnya menghilang dari rumah itu, dan juga dari kehidupanku.

Tidak ada waktu bagiku untuk meratapi nasibku. Kondisi Ibu lebih drop dibandingkan aku. Bagaimanapun, lelaki itu pilihannya. Lelaki yang dahulu menjadi kebanggaanya. Yang diharapkan bisa menjaga aku dan keluarga ini sejak Ayah meninggal tiga tahun lalu. Dan aku mencintainya. Jadi aku tidak menyalahkan Ibu. Tapi Ibu terus menyalahkan dirinya sendiri.

***

Kutabur bunga di pusara Ibu. Kini dia terbaring di sebelah Ayah. Dan aku ingin mengubur semua kesedihanku disini. Terlebih ketika mengetahui sampai tujuh hari sepeninggal Ibu, ayah dari anak-anakku, mantan menantu yang dulu begitu disayanginya ternyata tidak menampakkan diri sedikitpun. Ibu tak kuasa menahan deritanya. Setelahperceraian kami, hari demi hari diisinya dengan penyesalan, walau semua itu tak terucapkan. Si bungsu kami, kesayangannya tidak sanggup mengusir kegundahan mendalam jiwanya.

“Ibu, pergilah dengan tenang... Jangan khawatirkan kami,” bisikku sambil mengecup nisan di mana Ibu terbaring di bawahnya.

***

Bagaikan mimpi, aku kembali menabur bunga di tanah yang masih merah dan basah itu. Rasanya baru kemarin aku menabur bunga di pusara Ibu. Kali ini airmata tak terbendung. Aku ingin terus menangis, membasahi kembali tanah ini dengan airmataku. Airmata ibu yang kehilangan buah hati terkasih. Katanya airmata bisa menghalangi dan memberatkan kepergian yang meninggal. Aku tak peduli. Andai itu bisa menahannya, aku akan terus menangis. Karena aku tak ingin dia pergi.

Indra masih begitu muda. Tapi sudah terkena stroke dua kali. Yang pertamapun sedikit terlambat kami menanganinya sehingga sempat mati sebelah. Lalu kuhabiskan waktuku dengannya dari terapi satu ke terapi lain untuk bisa melatih kembali saraf-sarafnya. Tak kupedulikan badanku yang menjadi kurus karenanya. Apapun akan kulakukan demi membantu kesembuhannya. Betapa bahagianya aku melihat senyumnya kembali.Saat dia mulai kembali beraktivitas walau masih serba terbatas. Hingga akhirnya, stroke kedua menyerangnya. Dan tidak ada yang bisa aku lakukan. Pembuluh darah yang pecah di otaknya membuatnya harus menutup usia di duapuluh tiga tahun. Kali ini, selama tujuh hari, ayahnya selalu hadir membacakan doa untuknya.

“Yang tabah ya Nit...” Hanya itu yang selalu terucap tiap dia akan pulang dari rumah ini. Di belakangnya, istrinya hanya terdiam memandang prihatin padaku. Aku tidak ada tenaga untuk sekedar tersenyum padanya.

***

Dina tepekur di antara makam adik dan bundanya. Sejuta rangkaian doa terucap sejak pagi hingga siang ini. Dia belum ingin meninggalkan tempat ini. Dia masih ingin merasakan kehadiran orang-orang yang disayanginya di sini. Atau memberitahukan kehadirannya dengan calon suaminya pada adik dan bundanya.Hingga akhirnya sentuhan lembut di bahunya menyadarkannya. Waktunya untuk pulang.

Di perjalanan pulang, teringat kembali pembicaraannya dengan Bunda. Pembicaraan yang takkan pernah terlupakan dalam hidupnya.

“Dina.. Bunda nggak mau dioperasi. Nggak mau kemo juga. Bunda udah nggak ada tenaga untuk itu. Bunda cuma bisa minta supaya kamu jaga diri kamu sendiri, karena Bunda nggak tau sampai kapan ada di samping kamu...”

“Bun... jangan ngomong begitu, bunda harus kuat, bunda pasti bisa...”

Dina ingin menangis melihat keadaan bundanya. Sudah tidak ada kekuatan terpancar dari mata indah ibunda. Cobaan demi cobaan dalam dua tahun ini merenggut semangat hidup Ibu. Dan dirinya tidak bisa berbuat banyak. Kehadirannya seolah tidak bisa menghadirkan kebahagiaan dan mengobati sakit hatinya. Hanya bisa memeluk dan menghiburnya setiap malam.

Hingga akhirnya bunda pergi, semua sesuai dengan keinginannya. Kurelakan kepergiannya. Bunda tidak ingin dioperasi. Kondisi mental yang sangat drop membuat sakitnya semakin cepat berkembang. Dan ajal menjemput lebih cepat dari vonis dokter. Bunda pergi dengan senyum, senyum terindah di akhir usianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun