Mohon tunggu...
Wienndy Dy
Wienndy Dy Mohon Tunggu... -

Suka baca, kayak pp-nya.. Suka pantai, jadi terbawa santai.. Suka tidur, tapi jarang bermimpi.. Karenanya, aku tidak punya banyak impian :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anakku, Tetaplah Polos Seperti Sekarang...

2 Juli 2013   11:44 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 7514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ayah, Ibra mau nge-net ya, sama Isa sama temen-temen lain. Boleh Yah?” Siang itu suara bocah lelaki memecah keheningan di ruang keluarga bercat hijau lembut. Ibra, bocah kelas lima SD dengan Isa, saudara kembar tidak identiknya menatap Ayah memohon agar diijinkan.

Samudra, sang Ayah melipat koran yang tengah dibacanya. Sebelum menjawab, Nena, istrinya sudah terlebih dahulu menyahut.

“Ibra, Isa, kenapa kalian harus ke warnet segala? Kan Ayah sudah siapin komputer untuk kamu belajar berdua.”

“Betul kata ibu Nak. Kenapa tidak disini saja? Ayo Ayah temani...” timpal Samudra.

“Eemm.. tapi Ayah tau permainan porno?” jawab Ibra. Isa manggut-manggut di belakangnya, tanpa suara.

Samudra dan Nena berpandang-pandangan. Seperti tidak yakin atas pendengaran mereka sendiri. Permainan porno? Keterkejutan tampak di raut wajah keduanya. Sesaat kemudian, Nena bertanya pada si kembar.

“Permainan porno? Itu apa ya?” tanyanya sambil memangku Ibra, sementara Isa di pangkuan Samudra.

“Kata Oji, Bu, temen sekolah kita. Nanti kalau lagi ngenet mau dikasih liat permainan porno.” Nena manggut-manggut.

“Emang Ibra tau permainan porno itu apa? Terus Oji bilang apa tentang permainan porno??” tanyanya lagi.

“Ibra nggak tau Bu, makanya mau diajak sama Oji. Tapi kalo Oji sering pusing katanya. Kalau lagi istirahat suka ngomong ‘Aaaahh.. aku inget susu teruuuusss’ sambil pukul-pukul kepalanya. Makanya jadi main permainan porno biar nggak pusing Bu.”

Kalau masalahnya bukan seperti ini, Nena dan Samudra ingin tertawa melihat cara Ibra bicara mengikuti cara Oji seperti yang dilihatnya. Memang lucu. Tapi Ibra dan Isa tidak mengerti apa yang diucapkannya.

“Susu apa sih Nak? Susu sapi kaliii...” komentar Samudra. Nena melotot pada suaminya.

“Bukan Ayah! Susu.. susu.. susu ibu. Iya, kata Oji begitu...” Kali ini Isa angkat bicara sambil menunjuk dada Nena.

Nena geleng-geleng kepala. Bingung harus bicara apa. Bagaimana menjelaskan tentang porno ke bocah?

“Permainan itu hanya untuk yang sudah dewasa, bukan untuk anak-anak. Kalau sudah waktunya, Ibra dan Isa boleh kok...” ujar Samudra, sepertinya berpikir keras bagaimana memberi istilah yang mudah dicerna anak-anak yang masih polos itu.

“Ayah kan udah dewasa ya? Udah pernah main porno?” tanya Ibra lagi.

“Sudah. Tapi sama ibu saja, nggak mau sama yang lain.” Nena merasa jawaban Samudra terlalu jelas, tapi tidak berkomentar.

“Kalau sama yang lain?” Kali ini Isa yang bertanya.

“Dosa. Sama dosanya kalau yang masih kecil, belum dewasa udah mau permainan porno. Kalian mau, berdoa tapi tidak dikabul Allah karena kalian melakukan dosa?” Si kembar menggelengkan kepalanya kencang-kencang. Yah, sementara jurus ini yang bisa dipakai. Semoga saja kepolosan mereka bisa memudahkan mereka mengenal agama lebih banyak lagi. Nena, sebagaimana orang tua lainnya kadang dihantui kekhawatiran mengenai perkembangan moral anak-anak di tengah derasnya pornografi yang bisa diraih melalui ujung jari.

Sesungguhnya bukan kali ini si kembar bertanya tentang seksualitas. Seperti beberapa hari yang lalu. Sedatang-datangnya dari sekolah, Ibra bertanya padanya.

“Ibu, apa sih mimpi basah itu?” tanyanya.

Sesaat Nena terdiam. “Ini dia saatnya. Anak-anakku sudah mulai bertanya masalah ini,” batinnya. Lalu dirangkulnya Ibra di kanan, dan Isa di sebelah kirinya.

“Denger ya sayang, anak ibu yang pinter... Mimpi basah itu artinya, kalau sudah lama nggak ngompol terus tau-tau ngompol lagi. Jelas ya?” ujar ibu yang berharap pembicaraan ini berhenti sampai sini. Dan keinginannya terkabul oleh aroma makan siang yang menyapa hidung si kembar yang sedang disiapkan Mbok Mini. Dalam sekejab, keduanya sudah pindah duduk di depan meja makan dan pertanyaan tadi seakan terlupakan. Hingga beberapa hari kemudian, di suatu pagi terjadi kehebohan. Isa berteriak-teriak memanggil ayah ibunya.

“Ibu! Ayah! Ibra mimpi basah!!”

Kontan Nena dan Samudra kaget. Tidak yakin anak lelaki mereka mendapat mimpi basah secepat ini. Bergegas mereka berdua masuk ke kamar Ibra. Tampak Ibra lagi diam, seperti malu, seperti takut. Samudra mendekatinya.

“Kamu ngompol Nak?” tanyanya. Ibra mengangguk.

“Tadi mimpi lagi pipis. Nggak taunya pipis beneran,” jawabnya pelan.

“Ibu, Ayah.. Bener kan, Ibra mimpi basah? Kan udah lama Ibra nggak ngompol terus sekarang ngompol lagi...” celoteh Isa.

“Bukan sayang. Ibra bukan mimpi basah. Dia cuma ngompol lagi...” terang Nena.

“Tunggu beberapa tahun lagi Nak, nanti kamu bisa mengerti bedanya...” timpal Samudra. Tinggallah si kembar yang kebingungan, dan Samudra yang ngakak saat diceritakan definisi mimpi basah dalam pengertian Nena.

***

“Benar begitu bu?” tanya Samudra.

“Iya Yah. Oji ini umur anak SD tapi kelakuan dan pikirannya sepertinya anak SMA. Dia punya gank anak-anak yang sering nggak naik kelas, banyak ibu-ibu yang resah kalau-kalau anaknya nanti dekat dengan gank itu. Mereka pikirannya udah kotor Yah...”

Malam itu Nena bertukar pikiran dengan Samudra tentang Oji. Tadi siang, saat menjemput Ibra dan Isa, ada beberapa orang tua murid yang juga menjemput anak-anak mereka. Dari situ terdengar kabar bahwa Oji kedapatan meremas bokong teman perempuan sekelasnya sambil mencium –entah pipi atau bibirnya- di depan toilet. Duh, seperti tayangan cerita tak senonoh.  Murid perempuan itu menjerit-jerit sehingga beberapa guru melihat kejadian itu.

Keesokan harinya ada psikolog yang sengaja didatangkan untuk menangani kelakuan Oji yang rasanya diluar kepantasan anak seusianya. Hingga akhirnya Bu Tri, psikolog itu bisa membuat Oji bicara bahwa ternyata dirinya sudah biasa melihat film porno.

“Kamu dapat dari mana film-film itu Nak?”

“Dari lemari Papa.”

Bu Tri mencatat : Ceroboh.

“Kapan kamu nontonnya?”

“Kalau Papa Mama lagi kerja.”

“Di rumah nggak ada orang lain lagi? Cuma Oji sendiri?”

“Ada Eyang Kakung sama Eyang Ti. Tapi mereka tidur terus kalau siang. Oji nggak ada temen.”

Catatan tambahan : Tidak dalam pengawasan orang yang lebih tua.

“Sejak kapan Oji nonton film seperti itu?”

“Nggak tau Bu. Udah lama rasanya. Kelas 4, mungkin?”

“Tiap hari?” Tercekat lidah konselor saat menanyakan ini. Oji mengangguk pasti. “Kecuali kalau Papa Mama lagi di rumah.”

Catatan sementara : Kecanduan. Ringan? Sedang? Atau berat? Bu Tri masih mengira-ngira.

Inginnya Bu Tri bertanya lagi, tapi tidak kuasa. Merinding memikirkan betapa anak ini sudah rutin menjejalkan mata, telinga dan pikirannya dengan pornografi, setiap harinya. Anggap sepulang sekolah dia menonton dua jam sebelum orangtuanya pulang, dalam lima hari sudah sepuluh jam.  Apa yang ada dalam pikirannya saat melihat adegan-adegan yang keluar dari lempengan cakram bulat tipis itu? Bagaimana hasrat anak kelas lima ini setelah melihatnya hampir setiap hari? Rasanya pikiran anak ini sudah kotor, perlu dicuci dan dibersihkan. Psikolog akhirnya menyarankan pihak sekolah agar orangtua Oji dipanggil dan diinformasikan tentang hal ini, sekaligus mengingatkannya agar tidak lupa menyimpan barang yang seharusnya tidak terjamah oleh anak yang belum cukup umur.

Tapi apa yang terjadi? Nyonya Rosa, ibunda Oji meradang. Dengan penuh keyakinan dia berkata bahwa Oji tidak mungkin melakukan itu, karena ada kakek neneknya yang mengawasinya. Oji hanya menunduk saat ikut dipanggil ke ruang kepala sekolah. Saat ditanya, semua yang diucapkan di depan psikolog kemaren dibantah. Hingga akhirnya Nyonya Rosa keluar dari ruangan itu dengan amarah. Marah pada sekolah yang sudah mencemarkan nama baik anaknya dan berencana untuk menuntut pihak sekolah.

***

Ancaman tuntutan yang pernah dilontarkan ternyata tidak pernah ada, karena Oji sudah tidak sekolah lagi di sana. Bukan karena dikeluarkan, melainkan pindah sekolah. Mungkin Oji dan orangtuanya malu untuk masih terus berada di sana. Belakangan ini rumah mereka terlihat sepi dan seperti tidak berpenghuni, terutama setelah kejadian hari Minggu beberapa waktu lalu. Kabar yang beredar cukup simpang siur. Ratih, teman Nena, yang anaknya juga satu sekolah dengan si kembar, kebetulan sedang melintas di depan rumah Rosa hari itu. Tiba-tiba dari teras rumah Rosa terdengar ribut-ribut. Rosa dan suaminya mendorong seorang perempuan hingga terjatuh di halaman. Menyusul kemudian baju-baju dan tas yang dilemparkan di halaman menimpa perempuan itu. Tak ayal keributan itu mulai mengundang perhatian tetangga sekitar.

“Pergi kamu! Jangan pernah datang lagi. Perempuan nggak tau diuntung!” teriak Rosa setengah histeris lalu masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu. Hingga akhirnya, kabar yang tersebar adalah Tuti, pembantu di rumah Rosa diusir karena kedapatan sedang melakukan hal tidak senonoh dengan Oji. Entah kabar mana yang paling benar, apakah Oji yang mencabuli Tuti, atau Tuti yang mencabuli Oji, setidaknya berita itu membuat geger sekolah. Sejak kejadian itu, Oji tidak pernah tampak lagi.

***

“Yah, sampai kapan kepolosan anak-anak kita ya? Aku kok kuatir, kebetulan sekali kejadian ini dekat dengan kita. Nggak mungkin juga kita selalu mengawasi mereka tiap saat,” ujar Nena.

“Mudah-mudahan saja anak-anak tetap mau terbuka dengan kita walau sudah dewasa ya Bu,” jawab Samudra.

“Iya Yah.. Kita hanya bisa berdoa, berusaha selalu dekat dengan mereka, berharap agar mereka nggak salah jalan atau pergaulan.”

“Bibit kita kan bagus bu,” ujar Samudra.

“Maksudnya?” tanya Nena tidak mengerti.

“Apa pernah ada barang porno di rumah ini, dulu atau sekarang? Atau apa pernah kita sengaja cari barang porno?” Samudra balik bertanya. Nena tersenyum.

“Oh.. itu. Nggak pernah ada Yah. Mungkin kita kuno ya? Nggak seperti kebanyakan pasangan lain yang kadang nyimpen barang gituan.”

“Lalu permainan porno yang halal antara kita gimana?” tanya Samudra. Nena cekikikan menutupi rasa malu sekaligus lucu dengan istilah permainan porno yang justru didapat dari anak-anak mereka.

“Ih Ayah.. Udah ah...” Nena beranjak dan bergegas menuju dapur. Dalam langkahnya terucap syukur karena Samudra adalah laki-laki yang baik, pikirannya bersih dan tidak neko-neko. Mungkin benar juga, bibit baiknya semoga mengalir di darah Ibra dan Isa, anak kembar mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun