Mohon tunggu...
Widyarin Kusumaningtyas
Widyarin Kusumaningtyas Mohon Tunggu... -

Alumni Teknik Arsitektur di kampus negeri milik Bandung. Mencintai bandung sejak kuliah tahun 2002, dan (sayangnya) selalu tergoda untuk merajut cinta di Bandung.\r\n\r\nSekarang? berprofesi sebagai junior arsitek di Tebet, Jakarta Selatan dengan pendekatan ideologi Kearifan Lokal dan Ramah Lingkungan.\r\n\r\nDisamping itu? Juga mengelola enam blogspot yang berkisar antara hobi dan passion : merenung, menulis, mendesain, memotret, dan merekam photo-biografi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Spion, Masa Lalu dan Tiga Matahari

11 Mei 2011   08:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:50 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seno Gumira Ajidarma

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Seno Gumira Ajidarma"][/caption] Senja semburat dengan dahsyat di kaca spion. Sangat menyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat kilat ke arah yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan, maupun kiri, tiga senja dengan seketika memberikan pemandangan langit yang semburat jingga, tentu jingga yang kemerah-merahan seperti api berkobar yang berkehendak membakar meski apalah yang mau dibakar selain menyepuh mega-mega menjadikannya bersemu jingga bagaikan kapas semarak yang menawan dan menyandera perasaan. Senja yang rawan, senja yang sendu, ketika tampak dari kaca spion ketika melaju di jalan tol hanya berarti harus kutinggalkan secepat kilat, suka tak suka, seperti kenangan yang berkelebat tanpa kesempatan untuk kembali menjadi impian.Aku dalam mobilku melaju ke depan dengan kecepatan tinggi, sangat tinggi, terlalu tinggi, sehingga awan hitam yang bergulung-gulung di hadapanku tampak menyergap dan menelanku dengan begitu cepat, begitu beda dengan awan gemawan senja di kaca spion yang semarak keemas-emasan, gemilang tiada tertahankan, yang meski dengan pasti akan berubah menjadi malam yang kelam tampak bertahan tampak berkutat meraih keabadian dalam kefanaan. Di dalam satu dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa begitu berbeda? Di belakangku senja terindah yang akan segera menghilang, di depanku hanya awan hitam bergulung mengerikan bagai janji sepenuhnya betapa dunia memang berpeluang mengalami bencana tak tertahankan.

Cuplikan cerpen di atas adalah pembuka dari cerpen perdana di sebuah blog Seno Gumira Ajidarma. Kalian bisa membaca lengkap semua cerita di posting cerpen judul tersebut, di blog yang merangkum hampir semua karya dan buku Beliau.

SPION, MASA LALU,  dan TIGA MATAHARI.Ketiganya adalah filosofi menarik yang kudapat dari cerpen ini. Di sini diceritakan sosok pengendara mobil yang melewati jalan tol, sambil melihat spion-spion mobilnya. Hari itu senja yang merah, matahari di belakang mobilnya, dan spion itu ada tiga buah : di sisi kiri, sisi tengah atas (dalam mobil) dan sisi kanan. Ibarat berjalan di jalan “tol” kehidupan, sosok itu hanya punya pilihan berjalan maju seperti apapun kecepatannya. Namun ditengah penglihatannya yang luas di bentang jarak di depannya, ia tak pelak merasa terbantu dengan spion-spionnya yang melihat sisi bentang jarak di belakangnya. Kehidupan begitu manis dan lega, jika kita punya pandangan dan visi seperti filosofi spion mobil ini. Jelas melangkah mulus ke masa depan kehidupan, tapi masih harus tetap menjadikan masa lalu tertinggal di belakang sebagai peneguh jalan kehidupan kita. Tiga matahari? Jika kita beruntung, kita akan menemukan keelokan dengan melihat masa lalu. Ketika senja di belakang kita menjalani hari, dan kita siapkan spion tiga buah menangkap bayangan senja pada masing-masingnya. Maka hidup sungguh penuh keindahan dan rasa manis di kemudian hari. Hanya kita sering terlalu malas untuk berjalan teguh ke depan, sambil meletakkan tiga buah spion itu untuk bisa menangkap bayangan indah tiga matahari senja. Seno, sesosok Penulis Indonesia yang sangat mengidolakan seorang Rendra dan menyukai tulisan Remy Sylado. Ia sempat begitu saja meninggalkan pendidikan wajib sekolahnya di tanah air, hanya karena ia begitu tergerak untuk bertualang seperti cerita sebuah buku yang pernah dibacanya di masa kecil itu. Ia pergi bertualang merasakan sendiri bagaimana belajar itu tidak harus berseragam di jenjang sekolah. Dia sang Seno, menyukai senja bahkan hanya senja saja yang menjadi inspirasi semua tulisannya sejak awal tahun 80-an. Mengapa aku memilih Seno ? Seseorang yang kukenal dekat, belum lama ini terdengar seperti menyindir dan mengkritikku ketika aku katakan bahwa aku hanya menyukai tulisan seperti tulisan Tere-Liye dan tipikal Perahu Kertas. Dia katakan, aku hanya berpikiran sempit karena menyukai hanya langgam bahasa yang implisit dan tidak bisa menerima penulis lain yang bisa dengan frontal blak-blakan menceriterakan kisah fiksi mereka. Aku dalam hati merasa gemas dan frustasi, benarkah aku demikian sempitnya memilih kiblat gaya penulisanku? Memang aku tipikal menulis yang implisit, melankolis, dan lebih banyak menyelipkan arti kata dalam perumpamaan lain yang lebih “lambat” bercerita. Seno, adalah penulis yang tak pernah mau memberi tulisan naïf dan meninabobokan pembaca. Ia lantang menyuarakan fikiran jelata dan lantang pula menuliskan dialog maki-maki kaum mayoritas ataupun kaum minoritas. Bagi Seno, tulisannya adalah warna dari komunitas itu sendiri. Dengan imajinasi kotor sekalipun, sampai ke gunjingan pedas tentang apa dan siapapun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun