Salsa terkejut dan merasa aneh. Mengapa Pak Panji yang marah? Seharusnya Salsa yang marah, dia merasa telah dilecehkan dengan penawaran yang terus disodorkan pak Panji.
Walaupun berkali-kali dia menolak tetap saja atasannya tak menyerah dengan tawarannya.
Kalau tidak mengingat etika, mungkin sekarang dia sudah menggebrak meja dan meninggalkan ruangan tersebut.
Bunyi suara gawai dari atas meja menyelamatkan Salsa dari pertanyaan yang tak berguna itu.
“Kamu boleh pergi Salsa, istri saya menelepon,” perintah pak Panji sesudah dia melihat nama pemanggil di layar gawainya.
Syukurlah. Akhirnya, dia bebas juga. Salsa lalu berdiri dengan langkah cepat meninggalkan ruangan itu.
***
“Bel, ini laporan yang kamu buat. Semua sudah benar. Kamu memang hebat.” Salsa memuji Bela sembari memberikan lembaran dokumen laporan hasil kerjanya.
“Senangnya. Terima kasih ya mbak. Ini semua berkat bimbingan mbak Salsa beberapa hari ini,” dengan tersenyum Bela menerima lembaran dokumen itu.
“Ah, kamu bisa aja. Kamu memang tipikal cepat belajar Bel. Kalau begini, aku jadi tenang resign dari perusahaan ini,” Salsa menatap Bela dengan kagum.
“Emang benar kok mbak, mbak mentor yang sabar. Aku jadi cepat mengerti karena mbak menjelaskannya dengan detail. Tapi sayangnya kita hanya sebentar saja menjadi rekan kerja mbak. Padahal aku senang punya rekan kerja kayak mbak.”