Mohon tunggu...
Widya Shenaga
Widya Shenaga Mohon Tunggu... -

Suka anak-anak dan smua tentang makanan..he3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aku Seorang Guru Namun Anakku Tinggal Kelas

25 Juni 2011   12:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tadi pagi, aku kaget mendengar cerita sahabatku kalau anaknya tinggal kelas (di kelas VIII).  Sambil berkaca-kaca dia bercerita, dia tidak menyalahkan siapapun, tapi dengan tegar dan berbesar hati dia menerima semua itu. Sahabatku ini adalah guru kelas VI.   Ia seorang guru yang selalu tulus berjuang untuk murid-muridnya, apalagi dengan adanya  Ujian Nasional yang membuat semua pihak deg-degan bukan kepalang.  Sejak awal tahun ajaran baru dia sudah membuat rencana kerja  yang matang supaya anak didik-nya lulus semua dengan hasil yang memuaskan.  Bahkan dia mati-matian memperjuangkan anak-anak yang kurang perhatian dari orang tua, yang tidak punya semangat  belajar, bahkan rela memberikan waktu khusus di luar jam pelajaran.  Tidak bosan-bosannya dia memberikan motivasi, semangat, dukungan buat anak-anak didiknya.  Menurutku dia pantas diberi acungan jempol. Hasilnya, setiap tahun ajaran anak-anak didiknya selalu lulus 100% dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan ( nilai yang murni hasil kerja keras, jujur dan tidak ada rekayasa/kecurangan) Tapi sungguh miris ketika aku mendengar ceritanya.  Dia berjuang dengan sekuat tenaga untuk anak orang lain hingga lulus, namun anaknya tinggal kelas.  Rasanya buatku tidak adil, karena dia pun tidak mengabaikan anaknya.  Dia  tetap mendampingi putranya, berkonsultasi, bertanya mengenai perkembangan belajar anaknya.  Emosi di hatiku bergemuruh penuh tanda tanya, mengapa guru-guru di sekolah itu tidak berjuang untuk anak sahabatku? Mengapa hal ini bisa terjadi padanya? Sungguh tidak adil... !!! Sahabatku ini wanita yang bijaksana. Meskipun kecewa dengan kejadian ini, ia berlapang dada menerimanya.  Dia justru membesarkan hati putranya, mendukungnya, tidak memarahi atau menyalahkan siapa pun.  Bahkan ketika pihak sekolah menawarinya untuk naik tapi dengan syarat pindah ke sekolah lain, ia menolaknya.  Dia hanya mengatakan ini yang terbaik buat putranya, suatu proses berharga yang akan mendewasakan anaknya.  Aku salut, dia tidak malu dengan kejadian ini.  Karena dia seorang guru yang melihat hasil dari suatu proses, bukan sesuatu yang instan yang bisa menjerumuskan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun