Lembaran Koran Usang
Beberapa pasang kaki silih berganti memasuki ruangan dengan beraturan.Tetesan air wudhumengalir dari wajah yang sengaja dibasuh. Aku bergeser untuk menghindari senggolan,sandal berwarna coklat didepanku kuraih.Belum selesai memakai sandal ada seseorang menepuk bahuku.Dengan tangan terus merapikan kerudung , Dia memandangku dengan sumringah.Kata-katanya jelas membuat beberapa orang yang akan melaksanakan shalat dhuzhur melirik Kita heran.
“Yuli, Kamu masuk Koran “
Terkejut raut mukaku langsung berubah penasaran.Sedetik kemudian jutaan pertanyaan mengeroyok pikiran ini. Alih-alih mendengarkan Dia bercerita malahan aku sibuk menerka.
“ Bener mba, masa , kok aku ngga tahu. Mba tahu dari mana ? Terus korannya mana ?”
“Kok bisa Yul ? “ teman yang lain ikut bertanya.
“Iya beneran, korannya masih ada kok.”
“Hah ? gila ! beneran, pasti bohong kan“
“ Ayo kalau nggak percaya”
Kami bertiga bergegas ke bagian gulung/keriting.Lembaran koran usang terlihat berhamburan.Berbagai media turut andil.Mulai dari Koran harian nasional, regional, tabloid, ada yang menumpuk ada pula yang masih menutupi papan miring. Di bagian ini koran menjadi bahan pokok. Tak mengherankankoran usangbegitu mudah ditemukan.
Aku terus membaca koran yang membentang papan miring. Diatasnya terdapat pipa besar.Kompas, aku melirik sebelahnya Suara Karya, Tempo, Republika, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyumas, Merapi, Tribun Jogja, Satelit Post dan berhentiada suara nguing-nguing menubruk kepalaku, Suara Banyumas.
Lalu tumpukankoran disebelahku adalah koran yang dimaksud. Nguing-nguing. Puluhan eksemplar. Nguing-nguing. Dibagikan kepada Karyawan untuk bekerja. Brukkk. Pagi ini koran itu dibentangkan serentak. Menutupi pipa-pipa sebelum masuk mesin oven. Lantas seperti biasa mereka menyempatkan membaca isi tulisan lembaran koran itu.
Apa ini alasan banyak mata melirikku sambil berbisik , saat aku menatapnyaMereka berpura-pura sibuk. Atau selaras dengan alasan teman-temanku yang terus menghalangiku untuk melangkah. Mereka berjalan mundur, kadang jongkok didepanku, tangan kirinya ditekuk lalu diangkat tepat kearah mataku.
Mungkinkah hanya 1 eksemplar, 2, atau 3. Ini bahan pokok tak mungkin Pt membeli koran hanya 1 eksemplar. Terkadang ratusan eksemplartertanggal sama dengan media yang sama pula. Suara nguing-nguing semakin keras .Haruskah kebetulan seperti ini ?
“ Korannya ada dibagian Sangchim”
Hufh suara nguing-nguing langsung mati. Aku tersenyum. Koran yang Mereka maksud belum sampai dibagian Keriting. Tapi karena hanya kabar-kabur bisikan-bisikan terdengar mengusik sepanjang aku melangkah.
“ Dibagian Sangchim ada maling ayam masuk koran, bukan dia itu biduan aku lihat fotonya pegang mik,eh jangan kayak gitu nanti dimasukin koran. Makanya hati-hati. Iya loh…..itu loh..ini loh….ooohhh gitu…. Bener-bener “
###
Beberapa waktu kemudian…….
Saat strorller dengan tumpukan koran melaju ke bagian keriting . Suara nguing-nguing kembali hadir. Lantas mata ini seperti biasa melihat stroller itu terhenti. Beberapa Karyawan laki-laki mengambil beberapa eksemplar, lalu stroller melaju hingga menimbulkan bunyi gludak-gludak melewati jalan dibelakang mesin yang ku jalankan.
Tanpa arahan aku menghentikan mesin. Memutar kepala, ku hentikan laju stroller itu. Aku melakukan hal yang sama. Hembusan nafas lelah terdengar sesaat tanganku ku jauhkan dari tumpukan itu.
“ Cepetan mau ambil yang mana”
Aku menggeleng, stroller itu melaju kembali ke bagian keriting. Tumpukan koran itu pun seakan menertawakan aku. Mataku terlihat pasrah, melepas tumpukan koran yang bertuliskan.
“ Suara Merdeka”
Mewek, 8 Oktober2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H