Pada tempo hari, di saat saya resah dan susah dengan segala  keruwetan mengenai skripsi, saya sempatkan untuk curhat kepada dosen pembimbing akademik di bilik ruang dosen. Salah satu kalimat dari beliau yang sangat saya ingat kiranya begini, "Skripsi itu tentang idealisme. Setiap mahasiswa punya waktunya masing-masing untuk selesai, jadi kamu jangan khawatir dengan temanmu yang terlebih dahulu selesai."
Ada benarnya memang bahwa dahulu saat saya memilih sebuah topik penelitian karena berangkat dari keinginan saya untuk membuat sesuatu yang baru di jurusan saya, bahwa saya menolak untuk pragmatis dan harus meninggalkan jejak yang berkesan bagi saya, dosen, dan kancah perskripsian mahasiswa di jurusan saya. Sungguh terdengar idealis bukan?
Namun semua itu berubah. Saat seminar proposal, saya "disikat" habis tidak hanya oleh dosen penguji, dosen pembimbing pun juga turut andil. Setelah selesai dihakimi, boro-boro untuk tersenyum, diajak foto pun saya enggan. Tidak seperti kawan-kawan saya yang setelah semprop masih bisa tersenyum dan ber-swafoto bersama.
Â
Di momen itulah saya sadar bahwa menjadi seorang idealis itu pedih. Lemah? Ya, saya memang lemah, makanya sejak saat itu saya mulai berfikir realiatis. Saya sadar bahwa saya itu naif, perfeksionis, dan tidak menyadari batas kemampuan saya. Maka selanjutnya, saya selalu dikoyak-koyak kepedihan atas proses-proses dalam mengerjakan skripsi. Ditambah segala masalah yang saya alami sebagai orang yang sedang mengalami quarter life crisis. Lengkap sudah!
Melihat kawan-kawan saya yang sudah terlebih dahulu diwisuda, saya menarik kesimpulan bahwa skripsi yang baik bukanlah skripsi dengan teori yang melangit dan jarang dipakai, melainkan skripsi yang baik adalah skripsi yang diselesaikan. Memang terkesan pragmatis, tapi inilah kenyataan. Jika boleh menilai, sebenarnya beberapa skripsi kawan-kawan saya ini kualitasnya di bawah rata-rata, malah ada juga hasil skripsi yang menjiplak skripsi universitas lain (katanya), toh yang penting lulus. Tapi tidak sedikit juga kok yang skripsinya memang berkualitas.
Mengenai idealis dan realistis, saya suka bingung jika bersikap atas skripsi saya ini, saya mesti idealis atau realistis? Kesannya dua benda itu diskrit, hitam putih, harus dipilih salah satu. Lalu kenapa saya bingung? Karena kedua pemikiran itu berujung pada hal-hal yang menurut saya berbahaya.
Bagi saya, negatifnya idealis itu bisa mengantar kepada pemikiran yang perfeksionis, naif, bahkan utopis. Ketika kita perfeksionis, suatu pekerjaan akan menjadi lebih sulit dari seharusnya. Ketika naif, seseorang menjadi selalu berbaik sangka tapi tanpa ilmu. Ketika utopis, berpikir pun menjadi tidak jernih dan mengejar sesuatu yang probabilitas tercapainya sangat rendah. Adapun realistis, jeleknya realistis itu bisa mengantar kepada skeptis atau pragmatis. Ketika skeptis, seseorang menjadi sangat susah untuk melangkah ke sesuatu hal yang baru, dan sulit menerima pemikiran dari luar. Ketika pragmatis, pekerjaan yang diselesaikan hanya seadanya.
Perfeksionis dan utopis itu ternyata malah berujung pada lelah dan frustasi. Ditambah selama skripsi saya banyak diserang masalah eksternal yang lebih bersifat sosial atau batin. Saya semakin lelah dan frustasi. Maka saya rasa, saya butuh sendiri.
Selama sendiri itu saya sering tidak mengerjakan skripsi, lebih banyak merenung skripsi. Selama saya merenung, saya seperti menjadi manusia pragmatis, "yaudah, yang penting beres aja deh". Tapi sisi lain idealisme saya selalu bersikeras, "kamu udah sampe sini lho, udah jauh, susah mundurnya, kamu bisa." Karena susah beres dan susah mundur, akhirnya saya berpikir bagaimana supaya beres, tapi tidak mundur dari judul ini. Waktu demi waktu lebih banyak saya habiskan membaca, baik membaca tulisan ilmiah atau tulisan-tulisan kontemporer.
Hingga suatu ketika, saya tiba-tiba bermunculan banyak ide. Komponen yang ini ditambah, yang itu dihapus saja, toh komponen ini tidak terlalu vital buat sistem. Komponen yang ini, standarnya turunkan saja, segitu cukup sepertinya. Wah, metode baru untuk ini lebih sederhana, lebih mudah, tapi tetap memenuhi standar. Saya kemudian menyusun ulang milestone atau target atau raihan per sekian waktu yang saya miliki menjadi scope-scope yg lebih kecil sehingga lebih mudah untuk dilihat. Tanpa terasa, ternyata apa yang saya kerjakan hampir selesai, hanya tinggal optimasi saja. Saya senang, ternyata bisa (hampir) beres juga, dan tidak jadi mundur dari judul.
Lalu tiba-tiba saya terperangah dan sadar, "walah, mungkin ini maksudnya kompromis, idealis dan realistis." Dari skripsi itu saya berkesimpulan bahwa idealis itu perlu, ketika kita menentukan target utama. Sedangkan realistis itu juga diperlukan ketika kita menentukan milestone dan penyesuaian. Lihat bagaimana saya memilih judul, saya pilih yang sukar dan ingin sophisticated. Terkesan sombong, tapi saya ingin menunjukan kualitas diri dan saya harus bisa menunjukan dengan kesukaran demikian saya pantas dilabeli harga sekian walaupun bisa jadi ketika nanti sidang di mata dosen skripsi saya ini sampah alias tidak ada apa-apanya, (semoga tidak). Ini gaya berpikir idealis.
Tapi lihat ketika saya mempertimbangkan tiap-tiap komponen, saya melakukan banyak penyesuaian. Penyesuaian komponen, penyesuaian metode, dan mencari celah cahaya untuk hal-hal yang nyaris tidak mungkin dengan hal-hal yang memungkinan; ini gaya berpikir realistis. Jadi, beginilah gaya berpikir idealis dan realistis berkompromi, tapi tetap terjauh dari hal-hal negatifnya. Adapun hal lain, semakin paham persoalan, maka semakin mudah untuk melakukan kompromi. Salah satu caranya adalah dengan banyak bertanya, mencari referensi dan memperbanyak bacaan.