PEMBUKA
Pajak merupakan salah satu aspek penerimaan negara. Pajak adalah bentuk kontribusi wajib masyarakat kepada negara yang bersifat kontraprestasi dan memaksa. Meskipun demikian, pajak yang dipungut dari masyarakat sejatinya akan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat dan peningkatan mutu serta kualitas hidup suatu negara baik dari pendidikan, ekonomi, infrastruktur hingga sosial budaya. Pentingnya penerimaan pajak bagi suatu negara menjadikan alasan agar pencapaian penerimaan pajak harus bisa mencapai target atau minimal cakupan yang baik dari total pendapatan suatu negara yang tergambarkan dalam Gross Domestic Product (PDB). Tax ratio pada umumnya dijadikan standar penilaian internasional terhadap kemampuan instansi pajak dalam mengoptimalisasi pendapatan. Dalam perhitungannya Kadangkala terdapat perbedaan persepsi pada beberapa negara. Ada negara yang memasukan keseluruhan pajak yang dimiliki  baik di daerah maupun perpajakan yang dihimpun oleh pemerintah pusat. Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memperhitungkan pajak daerah dalam rasio pajaknya. Meskipun tidak memperhitungkan pajak daerah, berdasarkan evaluasi OECD (The Organization for Economic Co-operation and Development), tax ratio di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara di Asia Pasifik.
ISI
Tren rasio pajak Indonesia dalam 5 tahun terakhir tidak mencapai angka 15%, sementara rata-rata rasio pajak Asia Pasifik menurut OECD adalah 19,1%. Angka-angka tersebut menggambarkan bahwa rasio pajak di Indonesia masih perlu peningkatan minimal sama dengan rata-rata rasio pajak negara di Asia Pasifik. Â Mengacu pada beberapa literatur, tinggi rendahnya rasio pajak pada suatu negara disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang dapat ditinjau dari skala makro maupun mikro. Sebagai contoh pada skala makro seperti tarif pajak, pendapatan per kapita, dan imbal balik yang baik dari pemerintah atau good governance. Terlepas dari contoh faktor di atas, hal konkrit lainnya yang sangat berpengaruh terhadap rasio pajak adalah tax compliance atau tingkat kepatuhan pajak masyarakat selaku wajib pajak.
Rendahnya rasio pajak di Indonesia juga selaras dengan minimnya kemampuan Instansi pemungut pajak dalam menghimpun penerimaan pajak di Indonesia. Tidak hanya berkaitan dengan Kinerja Direktorat jenderal pajak tetapi juga sinergi lembaga pemerintahan dalam membangun kepercayaan  Atau dengan kata lain, sumbangish atas pungutan pajak yang telah dibayarkan masyarakat tidak terdampak nyata oleh masyarakat sehingga meskipun PDB di Indonesia cukup baik, rasio pajaknya masih rendah.  Berita baiknya realisasi penerimaan pajak indonesia pada tahun 2022 melampaui 15% dari target, namun jika dilakukan benchmarking dengan negara lain Indonesia masih dalam peringkat terbawah.  Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya potensi perluasan tax coverage  dan fenomena undergrowth economy.  Contoh konkrit atas fenomena  di Indonesia adalah masifnya penemuan peredaran rokok atau minuman keras ilegal tanpa cukai, sehingga yang seharusnya menjadi objek pajak tidak termasuk dalam pungutan cukai. Faktor lainnya adalah rendahnya sinergitas antara lembaga atau instansi terkait dalam hal penghindaran rekayasa pelaporan objek pajak atau penghasilan kena pajak. Masih maraknya kasus atau potensi penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi riil pada lingkup pengusaha impor atau importir. Â
- Terlepas dari berbagai faktor yang berkaitan erat dengan kinerja dan evaluasi kepada pemerintah, sejatinya hal utama yang tidak luput dari rendahnya rasio pajak adalah kepatuhan wajib pajak. Masyarakat masih memiliki persepsi yang berbeda dengan fiskus dalam hal perpajakan. Karena sifatnya yang kontraprestasi, Â sebagian besar masyarakat menganggap pajak hanyalah beban. Sehingga meskipun berbagai media edukasi telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun relawan atau komunitas peduli pajak, Â pemahaman dan tingkat literasi masyarakat tidak menjangkau hal tersebut sehingga perlu untuk mencari efisiensi dari segala output edukatif mengenai pajak yang telah diterbitkan.
Tidak hanya sebatas pengetahuan dan literasi yang baik mengenai perpajakan, orang dengan literasi pajak cukup baik pun masih mencari cela dalam penghindaran pajak (tax avoidance), sehingga secara parsial dapat mengurangi rasio pajak. Oleh karena cela akan penghindaran atau tax holes perlu ditutup dengan semaksimal mungkin. Hal tersebut juga karena kurangnya dasar hukum yang melegalisasi akses Direktorat Jenderal Pajak dalam mencakup berbagi informasi transaksional yang bernilai ekonomis, sehingga potensial objek pajak tertutup karena terbatasnya akses informasi yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
KESIMPULANÂ
Rendahnya rasio pajak di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor baik mikro maupun makro, diantaranya sebagai berikut : Â - Perbedaan hal teknis dalam perhitungan Rasio Perpajakan antara beberapa negara dan Indonesia, dalam perspektif rasio pajak di Indonesia tidak memperhitungkan pajak daerah. Meskipun tidak signifikan tetapi mempengaruhi angka rasio pajak di Indonesia.Â
- Imbal balik atas setoran pajak atau dengan kata lain good governance oleh masyarakat tidak terlalu berdampak bagi mereka, sehingga enggan membayar pajak.Â
-  Minimnya kemampuan Direktorat Jenderal  Pajak dalam menghimpun objek dan subjek pajak, karena kurangnya Human resource misalnya dalam mengawasi WP dan perlunya pengembangan sistem teknologi yang komprehensif.Â
- Maraknya undergrowth economy dan kurangnya sinergitas antara lembaga pemerintahan yang terkait dalam hal pemungutan maupun perolehan potensi perpajakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H