"Masyaallah," Â ucap saya bersamaan dengan suami.
"Perkenalkan beliau adalah Bapak Wardi," kata Bapak Kades memperkenalkan pemilik rumah yang ditempati mahasiswa.
"Beliaulah yang menerima mahasiswa, bahkan mengantar mahasiswa hingga ke Kantor Kecamatan ketika survey, malah bukan saya. Beliau juga yang dengan senang hati menawarkan rumah beliau untuk dijadikan posko mahasiswa. "
Kembali saya dibuat terkagum-kagum. Kali ini dengan seorang pria setengah baya berkulit bersih, murah senyum, humble dan baik hati. Beliau adalah tokoh masyarakat, salah satu putranya yang masih muda menjadi anggota dewan dan putrinya bekerja di Bank Jateng Semarang.
"Mbak-mbak KKN, kapan-kapan jalan-jalanlah di "tegal" di sana kalian akan mendapati rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana, dan melihat mbah-mbah yang masih semangat memetik sayur dengan "tenggok" Â besar di punggung,"
"Setiap pagi saya juga keliling desa, sambil olahraga melihat keadaan desa, kadang tidak tega melihat mbah-mbah yang sudah tua masih membawa beban yang sangat berat di punggung, kalau  pas saya sehat dan ada waktu saya membantu membawakan ," cerita Pak Kades.
Sungguh saya sangat iri dengan orang-orang baik seperti Pak Kades dan Pak Wardi, hidup bermanfaat dan menolong dengan ikhlas. Kebaikan, ketulusan dari seorang pesuruh sekolah lulusan SD yang sederhana itu berbuah manis, menjadi seorang Kepala Desa yang dipilih rakyatnya tanpa minta imbalan dua periode.
      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H