Dilarang Bakar Sampah

Satria Purnama adalah sosok suami yang sabar penuh perhatian. Sejak menikah dulu hingga sekarang sudah purna tugas pada usia 60 tahun, aku selalu memanggilnya dengan panggilan Ayah dan dia memanggilku Bunda. 

Sebenarnya kami sudah kakek dan nenek karena kami sudah punya cucu, tapi biar awet muda kami sengaja tidak memanggil satu sama lain dengan panggilan Eyang Kakung atau Eyang Putri. 

Hampir sepuluh tahun lalu kami purna tugas dari sebuah lembaga penelitian pertanian. Kebetulan suamiku satu kantor pada saat bertugas dulu hanya berbeda bidang. 

Baca juga: Belajar dari Mang Ujang dan Mang Nandang

Seperti setiap Minggu pagi, kami usai berolah raga jalan santai mengelilingi komplek perumahan, biasanya kami langsung menuju Pasar Tradisional melewati jalan tembus perkampungan di seberang jalan. 

Jalan setapak dengan lebar hanya satu meteran itu kami lewati dengan beberapa belokan, akhirnya keluar dan langsung hanya tinggal menyebrang jalan besar menuju Pasar Tradsional. 

Itu adalah hiburan setiap akhir pekan. Maklum kami saat ini di rumah hanya tinggal berdua saja. 

Baca juga: Piala Dunia U17 2023: Jepang dan Korea Selatan Patut Jadi Panutan Timnas Garuda

Dua anak kami semuanya sudah berkeluarga dan merantau ke Kota lain. 

Sebelum memasuki pasar, persis beberapa puluh meter di samping pasar ada sebuah lahan tempat pembuangan sampah sementara. 

Baca juga: Duel Panas Alejandro Garnacho Vs Asnawi Mangkualam tapi Mereka Tetap Saling Respek

Sebagian besar sampah-sampah rumah tangga  yang berasal dari komplek perumahan atau rumah-rumah di sekitanya. 

Juga dari area pertokoan. Semuanya dibuang di situ. Namun tidak dibakar dan tidak boleh dibakar.