[caption id="" align="alignnone" width="680" caption=" Calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo temui relawannya di Jalan Kitapa, Cilame, Serang, Banten, Rabu (16/7/2014). (Sumber: Tribunnews.com)"][/caption] Kompas, media yang didirikan pada tahun 1965, menjadi perhatian saya akhir-akhir ini. Harian nasional yang digadang-gadang sebagai koran dengan oplah terbanyak di Indonesia ini mendapat tudingan tajam terutama di Facebook setelah sejumlah pemberitaannya dituduh memihak kepada pasangan Jokowi-JK. Benarkah?
Fadli Zon menuduh Kompas dan Tempo tidak berimbang lagi saat memberitakan soal Jokowi dan Prabowo. Tentu tudingan ini akan mengagetkan banyak pihak karena setahu saya dua media ini memiliki readerships yang luar biasa ditambah dengan metode pemberitaan yang dikenal dengan investigative reporting yang patut diacungi jempol dan sudah terbukti.
Ketika masih menjadi wartawan, saya sungguh terkejut ketika New York Times secara terbuka mendukung Barack Obama dengan memasang editorial berjudul “Obama for President” pada tahun 2008. Keterkejutan saya itu makin bertambah ketika media di Negeri Paman Sam itu mulai menunjukkan dukungan kepada dua kandidat dari Partai Demokrat dan Partai Republik.
Sejauh mana independensi yang ditunjukkan oleh media saat itu? Dalam pandangan obyektivitas jurnalisme memberikan dukungan kepada satu dari kandidat yang bertarung sudah tidak berada lagi dalam kerangka netralitas. Ketika media sudah menunjukkan dukungan, itu berarti partisan sudah lahir di tengah-tengah salah satu pilar demokrasi.
Di Amerika Serikat, dukungan kepada partai tertentu sudah lama terlihat. Ini bisa dibedakan dalam kategori media liberal atau media konservatif. Fox News, misalnya, kenal sebagai media konservatif sementara NBC dan ABC, CNN, disebut-sebut sebagai media liberal.
Metode pemberitaan itu sangat terlihat jelas. Misalnya saat Obamacare dibahas di Kongres mulai tahun 2008-2010, Fox News dengan gencarnya mengecam sistem healthcare tersebut. Sementara media lain seperti ABC dan NBC memberikan dukungan pemberitaan agar Obamacare itu diterima di Kongres.
Bias pemberitaan media massa dan televisi di Amerika Serikat (AS) berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Jika di AS media-media itu memiliki ideologi baik liberal ataupun konservatif dan jelas tujuan mana mereka akan berlabuh, di Indonesia bukan ideologi yang dianut melainkan siapa motor di balik media tersebut dengan kata lain jika pemilik modal mendukung satu dari kandidat maka seluruh ideologi media bersangkutan akan berpaling ke kandidat tersebut.
Dalam dunia jurnalisme, independensi adalah hal yang utama dan nonpartisanship adalah upaya menjaga netralitas dalam pemberitaan sehingga ada tanggung jawab moral terhadap para pembaca. Tanggung jawab ini yang dilupakan sejumlah media ketika pemilihan presiden berlangsung beberapa waktu lalu.
Tentu rakyat Indonesia dengan jelas dan mudah melihat bagaimana sejumlah media televisi seperti TvOne, RCTI, Metro TV, dan lain-lain memberitakan dua kandidat presiden. Persoalannya bukan masalah ideologi melainkan ke mana para bos-bos memberikan dukungannya baik dalam bentuk uang, pemberitaan, mungkin dengan harapan bakal dapat tempat eksklusif jika sang kandidat berhasil duduk di kursi presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H