Mohon tunggu...
Aliyah Purwati
Aliyah Purwati Mohon Tunggu... -

Saya BMI di Hong Kong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Kecilku (Menguak Ramadhan dan Lebaran)

12 Agustus 2010   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Om, uangnya langsung nyampek kan? Mau buat ramadhan dan menyambutlebaran. Mesakne anakku gak nggawe baju anyar ngko," kata seorang  kawan buruh migrant Indonesia  (BMI) yang kebetulan kepapasan denganku, ketika aku membeli mie goreng di toko Indonesia, pasar Tsz. Wan Shan  barusan.

Tidak dapat dipungkiri, itu lah fenomena yang ada mengenai bulan ramadhan dan lebaran Idul Fitri. Puluhan ribu BMI berbondong-bondong mengirim barang, aneka makanan, baju dan sebagainya untuk menyambutnya lebaran Idul Fitri. Bahkan, ada juga yang nekad hutang ke majikan lantaran belum waktunya menerima gaji, tapi terbentur untuk biaya selama  ramadhan dan lebaran.

Wajar bukan dan hal ini sering kita lihat pada lingkungan masyarakat kita. Di tengah-tengah maraknya bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah, masyarakat kita sering mengalami hal tersebut. Bagaimana tidak?

Kita lihat saja, apa yang dilakukan orang-orang selama bulan ramadhan untuk menyambut lebaran. Sepertinya lebaran  hanya identik dengan memakai baju baru, makanmakanan yang wah, dan sebagainya. Meskipun dikatakan juga bahwa lebaan Idul Fitri merupakan hari yang suci untuk bermaaf-maafan. Namun, esensi dari hari besar itu sendiri sepertinya nyaris hilang dan minim sekali oang yang dapat memahaminya.

Disadari atau tidak, budaya tersebut semakin menjadi di lingkungan masyarakat kita. Bayangkan, jika seorang anak kecil tidak dapat memakai baju baru saat lebaran, dia akan menangis dan amat sangat sedih. Karena ini lah, orang tuanya akan melakukan segala cara untuk dapat menuruti keinginan anaknya. Bagi mereka yang benar-benar mau bekerja keras, itu sangat baik. Tapi bagaimana jika tidak? Kita lihat saja, bagaimana tingkat kriminalitas naik begitu tajam  selama bulan ramadhan demi persiapan lebaran Idul Fitri. Dari mulai pencurian dan sebagainya. Orang cenderung akan melakukan segala cara untuk lebaran, pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga. Diakui atau tidak, ini lah yang sering terjadi.

Kita tengok, bagaimana juga selama ramadhan, warung-warung dipaksa untuk tutup demi menghormati mereka yang berpuasa. Apakah tidak berfikir, bahwa sebagian besar mereka yang membuka warung, hidupnya hanya dari situ saja. Setahuku, Islam merupakan agama yang sangat simple dan aku yakin semua agama pun demikian. Tidak ada satu pun ajaran agama yang memberatkan umatNya. Jika itu dilakukan secara paksa oleh ormas-ormas radikal hanya untuk menghargai, menghormati mereka yang berpuasa, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak berpuasa? Lalu bagaimana para pemilik warung itu bisa hidup, jika dipaksa tutup, sementara kebutuhan hidup kian meningkat tajam.

Anehnya lagi dan ini menjadi pertanyaanku sejak kecil, ketika aku masih duduk di bangku SD. Puasa itu menahan hawa nafsu, tidak hanya makan dan minum. Kalau semua warung ditutup, berarti tidak ada tantangan sama sekali. Padahal logikanya, kalau warung-warung itu buka akan lebih bisa menguji kita. Sejauh mana kapasitas kita dalam menahan haus, lapar dan hawa nafsu tentunya. Ini saja yang menurutku lucu.

Aku sama sekali tidak menyalahkan adanya bulan ramdhan. Karena bagiku, bulan ramadhan tetap suci, hanya manusia saja yang salah kaprah dalam penerapannya. Begitu juga dengan lebaran dan agama. Kita sering lupa akan esensi dari agama itu sendiri sebagai wahana pembelajaran. Kalau Islam mewajibkan umat Islam berpuasa pada bulan ramadhan, hendaknya kita bisa mengambil sikap kepada mereka yang tidak menjalankan. Begitu juga sebaliknya. Karena buat aku pribadi, apa lah arti ramadhan, jika hanya merugikan oranglain. Di sini lah pemahaman kita akan apa itu puasa benar-benar diuji.

Sementara itu, mari kita bayangkan. Seandainya ketika hari raya kita tidak mampu membeli baju baru dan sebagainya.  Kenapa kita tidak berusaha ikhlas saja, jika toh benar-benar tidak mampu. Lebaran ala kadarnya, karena di situ lah letak keihlasan dan kesabaran justru diuji. Namun masyarakat kita, sering lupa dan salah kaprah. Padahal yang paling penting adalah bagaimna kita memaknai puasa dan hari raya Idul fitri itu sendiri dan bukan pada baju baru, dan segala tetek mbengeknya.

Jika lah budaya seperti itu dalam masyarakat kita tidak dihilangkan pelan-pelan, ramadhan dan lebaran hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa makna, sama hal nya dengan pesta rakyat 17-an saban tahun. Semoga kesadaran bangsa ini semakin ada. Ya, semoga!

Tsz. Wan Shan, 12 August 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun