Cuaca di Hong Kong masih sangat panas. Meskipun suhu hanya sekitar 31 derajad celcius dan lebih rendah daripada suhu di Indonesia, namun hawanya tetap saja terasa sangat menyengat. Nyaris tak ada angin sedkit pun. Tak heran, jika beberapa orang tua jompo sampai ada yang pingsan lantaran pengapnya cuaca. Sementara itu, di Victoria Park seperti biasa berjubel ribuan manusia, yakni kawan-kawan Buruh Migran Indonesia(BMI) yang asyik menikmati liburan dengan segala macam aktivitasnya. Ada rasa bosan juga kadang melihat pemandangan tersebut, terlebih panasnya itu yang membuat aku benar-benar tidak tahan.
Aku putuskan untuk nongkrong di perpustakaan saja (Hong Kong Central Library), yang letaknya bersebrangan dengan Victoria Park. Bangunan berlantai sepuluh tersebut benar-benar nyaman. Fasilitasnya sangat lengkap, dari mulai ruangan ber-AC, buku, penggunaan komputer gratis, hingga majalah dan koran Indonesia pun ada di sana. Tak heran, tempat ini menjadi salah satu alternatif untuk berteduh saat musim panas, termasuk kawan-kawan BMI. Dari mulai membaca buku, internetan, atau sekedar numpang chat saja dengan laptop sendiri, karena ng-cas laptop pun gatis.
Sore ini aku mendapat tempat di lantai lima, tepatnya di dekat petugas perpustakaan. Mereka semua sungguh ramah. Jika ada kesulitan tentang penggunaan komputer saja, mereka tidak segan-segan untuk membantu. Nah, ada kejadian lucu yang membuatku tertawa habis-habisan ini tadi.
Di sebelahku duduk seorang nenek-nenek, umurnya sekitar 70 an tahun. Awalnya aku cuek saja, karena masing-masing mempunyai tempat sendiri-sendiri dan aku asyik dengan duniaku sendiri.
Tapi tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara berisik. Aku tengak-tengok, ternyata berasal dari nenek di sebelahku. Kulepaskan headphone di kepalaku. Aku melirik diam-diam, apa yang sedang dilihat nenek itu. Aku kaget bukan kepalang, rupanya dia sedang melihat tarian jaipong di situs youtube sambil sedikit berusaha menggerak-gerakkan badan. Aku tertawa secara refleks, hingga salah seorang petugas menghampiriku.
"Siuce, em hou kem taiseng a (Nona, jangan keras-keras ya)," bisik petugas tersebut padaku.
"Oh, sorry," jawabku padanya sambli nyengir dan menahan tawa akibat ulah nenek tadi. Sementara sang nenek masih asyik dengan jaipongannya.
Aku tidak kuat menahan tawa. Akhirnya aku beranikan diri untuk membuka pembicaraan pelan-pelan dengan nenek itu.
"Bobo a, hamaya cungyi yanne mo a (nenek, apakah suka tarian Indonesia)," tanyaku padanya
"Haya, leng noi. Ngo hou hou cungyi a. Hou tak yi a (Iya, anak cantik. Aku sangat suka, karna sangat lucu menggemaskan)," jawab nenek.
Aku terdiam dan lagi-lagi menahan tawa.
"Geiat ngo hai yannei yan keh (Sebenernya aku asli Indonesia),"lanjut sang nenek. Aku bisa menebak bahwa nenek itu adalah orang Indonesia tapi telah lama menetap di Hong Kong.
"Aku orang Kalimantan,"ujar nenek terbata-bata mengucapkan kalimat singkat bahasa Indonesia tersebut.
"Ngo tu hai Yan nei yan a, bobo," cerocosku padanya.
"Hamaya. O lam lei hai Hong Kong yan. Dausin ngo em kam dung lei ta ciufu a (Masak? Tadi aku pikir kamu orang Hong Kong. Makanya aku gak berani menyapa kamu),"ujar nenek panjang lebar.
Akhirnya kami berdua sama-sama tertawa dan terlibat perbincaan hangat meskipun pelan-pelan, karena kuatir ditegur petugas lagi.
"Ngo yijin houlek diumo a. Yika siong diumo tu emtak, yanwai lo co. Tanhai ngo cungyi dai. Ngo yat-yat tu kolei a ( Aku dulu snagat pandai menari.Sekarang mau menari tapi sudah tidak bisa karena sudah tua. Aku saban hari ke sini)," tutur sang nenek. Aku manggut-manggut saja sambil tersenyum.
"Lei a, yiko fan hoi leh keietak hok yannei mo. Yannei mo canhai hou leng a(Kamu kalau pulang nanti, jangan lupa belajar tarian Indonesia.Tarian Indonesia sangat indah)," pesan nenek.
"Oh, hai (oh, iya)," jawabku singkat sambil nyengir.
Benar-benar menggelikan tapi cukup sarat dengan pesan pertemuanku dengan nenek tadi. Tak lama kemudian, dia pun meninggalkan perpustakaan dan pulang. Menurut keterangannya, dia tinggal di kawasan Leighton Road, Causeway Bay, tak jauh dari Victoria Park. Tiap hari dia selalu menyempatkan waktu untuk ke perpustakaan, sekedar melihat tarian Indonesia di internet dan membaca berita. Raganya memang tlah lama di Hong Kong, namun jiawanya masih lekat di Indonesia. Dengan begitu, dia berharap hari-harinya tidak sepi, sebagaimana orang Hong Kong yang selalu saja ingin membuat kesibukan .
Dari obrolan dengan nenek tadi pula, aku jadi berfikir bahwa kebudayaan Indonesia mesti gencar kita lestarikan, agar tidak hilang ditelan jaman. Seperti kisah sang maestro tari topeng, Mimi asal Indramayu, yang sebelumnya belum diakui oleh bangsa kita sendiri. Sangat ironis memang dan dia baru diakui keberadaannya setelah dia sukses menggelar berbagai pertunjukan tari topeng di Jepang dan beberapa negara di Eropa.
Terimakasih nenek! Pertemuan kita hari ini benar-benar membawa arti tersendiri. Semoga nenek diberi panjang umur oleh Tuhan dan sehat selalu. (Aliyah Purwati)
Hong Kong Central Library, 8 August 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H