MINGGU(1/8) lalu, lapangan rumput Victoria Park, Causeway Bay, penuh sesak bak lautan manusia. Cuaca yang tergolong sangat panas dengan suhu 33 derajad celsius, rupanya tidak menyurutkan semangat ribuan Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong untuk mengikuti atau sekedar menonton acara"PESTA RAKYAT" yang digelar oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong (KJRI-HK).
Untuk kedua kalinya KJRI mengadakan acara tersebut secara out door, dengan pertimbangan akan lebih banyak BMI bisa mengikuti acara, ketimbang indoor yang tempatnya jelas sangatlah terbatas.
Suasana ramai yang mungkin mengingatkan kita pada acara 17-an di kampung halaman, benar-benar terasa. Bisa dimaklumi, karna BMI jauh dari kampung halaman dan dengan acara semacam itu mungkin dapat mengobati rindu pada tanah kelahiran tercinta.
Untuk memperingati HUT RI ke-65 ini, KJRI-HK mengadakan berbagai macam lomba. Di antaranya adalah lomba balap karung, makan cakue, memasukkan pensil dalam botol dan sebagainya. Di samping itu, diundang juga dua artis ibukota.Tidak tanggung-tanggung, mereka menghadirkan dua artis dangdut sekaligus, yakni Ira Swara dan Thomas Djorgi. Kontan, suasana sangat ramai. Ribuan BMI berdesakan dan saking banyaknya orang, sampai-sampai banyak yang terpaksa berdiri di atas tempat sampah hanya untuk melihat sosook wajah sang idola.
"Iki lho aku ketok ndase sitik. Thomas Djorgi ngganteng yo," begitu celotehan beberapa BMI.
Ira Swara yang dikenal dengan goyangannya yang aduhai langsung mengguncang Victoria Park dengan lagu-lagu hits dan goyangannya. Begitu juga dengan Thomas Djorgi. Bahkan saking antusiasnya, tidak sedikit dari BMI yang ikut bernyanyi dan bergoyang meski di bawah payung serta teriknya mentari yang sungguh menyengat. Pekik "merdeka" dan "hidup Indonesia" mewarnai jalannya acara.
Mereka terlihat begitu riang gembira, menikmati sajian hiburan tersebut. Terlebih setelah selama enam hari berkutat bekerja di rumah majikan. Pantas saja, jika hari Minggu merupakan hari kebebasan. Hari untuk mengekspresikan diri, melepaskan segala kepenatan, kejenuhan serta rasa lelah.
Apa ada yang salah dengan semua itu? Tentu saja tidak. Tidak salah pula jika KJRI memberikan suguhan hiburan semacam itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pemerintah kita selama ini sudah dapat melindungi warganya di luar negeri yang bekerja sebagai buruh migran? apakah mereka sudah cukup peduli kepada jutaan BMI yang selama ini dikenal sebagai pahlawan devisa, yang meski mungkin itu hanya sekedar sebutan gagah semata. Pemerintah hendaknya bisa menyeimbangkan antara perlindungan dan hiburan.
Pemerintah kita lupa atau mungkin menutup mata. Bagaimana rentetan kasus demi kasus terus terjadi di kalangan BMI. Pemberian gaji di bawah standart (Underpayment) yang telah menjadi momok bagi BMI di Hong Kong terus saja terjadi. Puluhan tahun masalah ini belum juga teratasi dan hal ini hanya dialami oleh buruh migran asal Indonesia saja. Jelas, ini merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah kita dalam menangani permasalah BMI.
Lalu bagaimana pula dengan Agency fee yang semakin tinggi. BMI dipaksa membayar biaya agen yang sangat tinggi untuk dapat bekerja sebagai buruh migran. Sementara mereka juga rawan akan terminit atau pemecatan secara sepihak oleh majikan, dan untuk dapat mencari majikan lagi, mereka harus membayar agen lagi. Begitu seterusnya. KEbijakan-kebijakan yang dibuat oleh KJRI selama ini tidak pernah berpihak pada kepentingan BMI. Organisasi BMI atau serikat buruh yang ada sama sekali tidak pernah diajak diskusi dalam merumuskan sebuah kebijakan yang menyangkut BMI itu sendiri.
Terlebih lagi, yang marak dibicarakan adalah mengenai kontrak mandiri. BMI dilarang mengurus sendiri tanpa agen, jika hendak memperpanjang kontrak atau pun ganti majikan. Ini jelas, bukti kuat bahwa KJRI lebih berpihak pada kaum pemilik modal, dalam hal ini agen. Karena dengan jika kontrak mandiri diberlakukan, agen tidak mendapatkan keuntungan dari BMI itu sendiri.
Lalu bagaimana pula dengan ksus-kasus yang menimpa BMI di berbagai negara, seperti di Timur Tengah, Malaysia, Singapura dan sebagainya. Sudah kah pemerintah pemerintah bisa mengatasi dan memberikan perlindungan?
Apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Satu pertanyaan yang sangat penting. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Inilah yang sebenarnya menjadi tugas kita bersama. Secara politis, jelas kita telah merdeka. Karena proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno bersama Moh. Hatta, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu bagaimana dengan pasca kemerdekaan tersebut? Tidak kah kita melihat bagaimana kondisi tanah air sekarang ini? Segala bentuk penjajahan neokolonialisme dan neoimperialisme datang silih berganti. Di tengah maraknya globalisasi, bangsa kita semakin kehilangan indepensi, kemandirian serta kemerdekaan hakiki.
Kita tengok, bagaimana Presiden SBY mengabiskan anggaran negara, yang mayoritas itu didapatkan dari hutang luar negeri, hanya untuk hal yang sama sekali tidka penting. Pemerintah sama sekali tidka mempunyai inisiatif, bagaimana menghemat anggaran agar tidak semakin menumpuk hutang dari hari ke hari dengan cara menghimpun kekuatan dan mengeksplorasi kemampuan yang ada. Mereka lupa atau bahkan membuatakan mata, bahwa hutang itu nantinya juga rakyat yang menanggung.
Kita tahu juga bagaimana para wakil rakyat yang duduk di bangku Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), yang semestinya menjadi katalisator aspirasi rakyat, justru menjadi momok penghisap darah rakyat sendiri. Lihatlah , korupsi di mana-mana, pemerintah semakin tidak serius dalam menangangi masalah-masalah negara.