Ini adalah Asa, bocah 12,5 tahun, anak pertama kami. Kami panggil dia Asa, karena pengalaman pahit saat dia masih di rahim saya, nyaris membuat kami kehilangannya. Jadi, tak terkata harapan kami padanya. Dan gadis kecil didepan Asa pada foto di bawah, adalah Raniah adiknya, embun kehidupan kami. Anak yang ketika masih di rahim saya pernah disarankan untuk digugurkan saja oleh sejumlah orang karena berbagai alasan. Karena kuasa Tuhan, keduanya berada disini bersama-sama kami.
Tidak ada masalah yang berarti dalam tumbuh kembang Raniah. Gadis kecil ini adalah bayi yang sangat tenang dan jarang mengajak begadang di masa bayinya, kini dia sudah kelas 4 SD, menyukai berbagai kegiatan outdoor, sport dan sangat bagus prestasi akademisnya. Namun tidak demikian dengan Sang Kakak. Di usia 3 tahun, Asa mulai mendapat berbagai judgement dari lingkungan sekolahnya, mulai dari dugaaan autistik, hiperaktif, ADD... endebrai...endebrai.... yang... ah, saya sudah bosan bercucuran air mata untuk ini. Sudah pula kami ikuti sesi demi sesi assessment yang melelahkan, tanpa ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa dugaan mereka benar. Meski demikian, masih ada saja yang menilai Asa sebagai individu dengan berbagai dugaan di atas.
Demi memahami kondisinya, saya berusaha melahap berbagai literatur psikologi dan tumbuh kembang anak. Tidak ada satupun yang bisa secara memuaskan menjelaskan kondisi Asa yang sesungguhnya. Dalam pencarian tersebut saya berkenalan dengan sebuah buku tulisan Ibu Maria Julia Van Tiel, judul buku itu adalah Anakku Terlambat Bicara. Buku yang bercerita tentang Anak Berbakat atau terkadang disebut juga sebagai Sindrom Einstein. Jadi anak-anak seperti ini mengalami lompatan perkembangan di satu aspek perkembangan namun terlambat di aspek lain, atau disebut mengalami disinkronitas. Salah satu cirinya adalah terlambat bicara.
Di usianya yang 12,5 tahun ini, Asa masih duduk di kelas 5 SD. Masih berkesulitan mengikuti pelajaran di sekolahnya, meski kalau mau dibilang tidak pintarpun juga kurang tepat rasanya. Karena kadang kala dia menunjukkan minat dan kemampuan yang sangat kuat di suatu bidang, sementara di bidang lain bisa dibilang sangat memprihatinkan. Contohnya saja, ketika anak ini kami berikan akses cukup leluasa ke internet, saat saya cek history, ternyata dia memainkan keyword-keyword yang sangat spesifik sesuai tema yang sedang diminatinya. Deretan long tail keyword saya temui dalam history browser laptopnya. Hmmm.... Khas banget ciri kuat Generasi Z, nih. Tapi jangan tanya dia soal matematika, karena perkalian 2x3 saja sudah bakal membuatnya kelabakan dan merasa putus asa.
Kami sudah tidak lagi mempedulikan berapa nilainya, yang menjadi perhatian kami adalah bagaimana terus memupuk antusiasmenya belajarnya. Dia masih semangat ke sekolah saja sudah membuat hati kami amat girang. Kami ingin dia terus bersemangat belajar. Belajar dalam arti seluas-luasnya, bukan hanya dalam batas sekat ruang kelas sekolahnya. Bagi kami, sangat penting Asa menjadi anak kreatif dan manusia kreatif nantinya. Kreativitas akan membawanya mampu memecahkan apapun masalah dalam hidup. Kami memilih untuk menerima bahwa Asa ya Asa, tidak perlu dijelaskan apakah dia individu dengan kebutuhan khusus kah? Atau apalah...apalah.... Asa ya Asa, anak lanang kami yang kami terima dan cintai seutuhnya.
Anak-anak berkaki gatal...
Demikian saya sering menyebut mereka. Mewarisi lelaki itchy feet yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi ayah mereka. Ya, suami saya adalah orang yang hampir tidak bisa diam. Jalan-jalan adalah hobinya yang lalu menurun pada anak-anak kami. Sebagai perempuan yang tadinya lebih suka tinggal di rumah, jujur, awalnya saya kewalahan meladeni kebutuhan anak-anak untuk bepergian.
Anak-anak harus menjadi individu-indvidu yang bebas merdeka dalam belajar, dan traveling adalah sarananya. Itu adalah salah satu statement suami saya. Oke, akur! Sayapun setuju, karena memang menurut saya, sebagai orang tua kami harus melayani apapun gaya belajarnya.