Wuhuuu selamat sore kompasianer! Am back !! B-)
Topik apa ya yang kali ini akan saya bahas di tulisan saya?
Yak, saya akan mencoba sharing tentang pengalaman saya berkuliah di PTS. Dan yaaahh, mungkin akan terjadi banyak kontroversial *maybe hehehe..
Oke, Apa sih itu PTS? Ada yang mengetahuinya? PTS merupakan singkatan dari Perguruan Tinggi Swasta. Dan tidak sedikit yang mengetahui keberadaannya.
Apakah anak-anak PTS itu terbelakang? Belum tentu dong. Jangan underestimate dahulu dengan kemampuan anak-anak PTS. Coba dilihat dulu kemampuan mereka dong.
Apakah saya menyesal kuliah di PTS? Ingin jawaban yang jujur atau enggak nih? Sejujurnya, awalnya saya sangat menyesal karena saya mengambil keputusan untuk berkuliah di PTS. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perasaan menyesal tersebut berubah menjadi perasaan bangga. Ya, saya bangga dapat diberikan kesempatan untuk menimba ilmu di PTS, terutama di universitas saya sekarang.
“Bagaimana bisa anda lebih memilih Perguruan Tinggi Swasta dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri?” pertanyaan seperti itu sering dilontarkan kepada saya. Dan jawaban saya adalah, saya memang diterima pada pilihan kedua saya di salah satu PTN terkemuka di Indonesia, akan tetapi saya tidak diijinkan untuk mengampil kesempatan tersebut oleh orangtua saya. Hal itu dikarenakan tidak jelasnya jaminan masa depan saya ketika saya lulus dari majority di PTN tersebut.
Kemudian satu-satunya jalan adalah menjalani nasib harus menimba ilmu di PTS di kota saya. Karena bagi orangtua saya, salah satu jurusan terbaik yang diambil oleh anak yang pada saat SMA berasal dari jurusan IPS, adalah akuntansi. Alasannya tidak lain adalah masa depan pada saat lulus kuliah terbuka lebar (amin).
Bagaimana perasaan anda saat harus menjalani nasib seperti itu? Kesal, capek, marah, dan bosan. Namun mau dikata bagaimana, nasi telah menjadi bubur. Dan saya tidak ingin mengecewakan orangtua saya lagi atas keputusan yang saya ambil. Actually, saya ingin menimba ilmu keluar dari kota saya ini. Saya ingin mencoba hidup mandiri, menjalani kehidupan apa adanya tanpa bantuan dari orangtua, dan mencoba membuktikan kepada orangtua saya bahwa saya bisa sukses juga apabila jauh dari orangtua. Namun, nampaknya Tuhan tidak mendengar do’a saya.
But, it’s ok. I consider it as a challenge yaa..
Awalnya menjemukan? Ya! Hal ini dikarenakan sebagian besar dari teman-teman saya di bangku kuliah adalah teman-teman saya dari SD, SMP, maupun SMA yang sama dengan saya. Dan hanya minoritas dari teman-teman saya yang benar-benar teman baru saya yang berasal dari berbagai pelosok daerah di Indonesia dan berasal dari bermacam-macam ras di Indonesia.
Bertemu dengan hal yang “baru” walaupun suasanannya “tidak baru” itu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi saya. Kebiasaan sewaktu duduk dibangku sekolah, berbeda dengan pada saat duduk di bangku kuliah. Dari sistem belajar mengajarnya, hingga pergaulannya.
Ya, bagaimana tidak, panggilan saya berubah menjadi “cici”, bukan “mbak” ataupun “kak”! Canggung? Awalnya memang terasa canggung karena saya tidak ada keturunan chinese sama sekali. It’s so weird, rite? Hahaha... Akan tetapi saya mulai terbiasa dipanggil seperti itu seiring dengan berjalannya waktu. Dan hal tersebut bukanlah hal yang tabu lagi di terutama di fakultas saya. Bahkan ada beberapa dosen saya yang meminta agar dipanggil “koko” dan “cici”, hal itu dilakukan agar mempererat hubungan antara dosen dengan mahasiswa-mahasiswinya. Sehingga hubungan kami tidak lagi selayaknya hubungan antara pengajar dan anak didiknya, akan tetapi selayaknya hubungan antar teman lhoh..
Sharing satu dengan lainnya? Pelajaran yang saya dapatkan?
Sharing satu dengan lainnya itu hal yang sudah biasa bagi kami. Mulai dari urusan kuliah, beasiswa, organisasi, maupun masalah pasangan! *cieeee*.. Pelajaran yang saya dapatkan? Banyaaaakkk! Belajar untuk memahami tanggungjawab dan melaksanakannya sesuai job desc kita. Belajar untuk dapat bekerja dibawah tekanan, setiap hari harus rela begadang demi tugas kuliah dan organisasi. Belajar untuk bekerja cepat, rapi, dan memuaskan. Belajar untuk bekerja jujur apa adanya dan tidak menang sendiri. Belajar untuk bekerjasama dengan orang lain didalam team yang berasal dari berbagai latarbelakang.
Apakah anak-anak PTS dapat bekerja secara solid juga?
Beberapa bulan yang lalu, saya diminta untuk menjadi Sekretaris di serangkaian acara tahunan yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Universitas, saya sempat memikirkannya terlebih dahulu. Bagaimana tidak, baru kali ini pihak dari SMU menggabungkan 2 (dua) kepanitiaan menjadi 1 (satu) dengan meng-handle 3 acara nasional sekaligus. Sementara itu dana yang diberikan kepada kami kurang dari tiga puluh juta rupiah, sekitar Rp 29.500.000,- (dua puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Padahal total dari jumlah rancangan awal pengeluaran kami adalah sekitar Rp 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah). Bayangkan saja bagaimana kami dapat mendapatkan dana sebegitu banyaknya? Sementara kami terhambat oleh sistem birokrasi kampus yang subhanallah riweuhnya.
Sehingga kami memutuskan untuk mengirimkan puluhan proposal usaha dana ke perusahaan-perusahaan besar. Menjual berbagai paket makanan, baik snack maupun makanan berat. Masuk dari satu toko ke toko yang lain dengan membawa proposal usaha dana kecil, dan tak jarang kami ditolak mentah-mentah selayaknya kami pengamen kali ya. Sakit hati? Ya! Tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau kami harus putuskan urat malu. Hingga akhirnya kami dapat mengumpulkan dana sekitar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Masih jauh dari kata cukup, right? Jatuh bangun kita mencoba bertahan, dan bekerja dibawah tekanan. Awalnya saya mengira banyak teman yang tidak dapat kami andalkan. Namun kami dapat melihat kinerja teman-teman panitia yang sesungguhnya, yang siap menghadapi segala tantangan ke depannya. Dan mereka sangat solid, rela jatuh bangun demi terlaksananya serangkaian acara.
Kuliah di PTS tidak bisa lulus dengan cepat?
Oh, tunggu dulu.. jangan beranggapan seperti itu. Semuanya tergantung individunya masing-masing. Bagaimana niat mereka dalam menimba ilmu. Jangan karena kami berasal dari PTS, kami tidak dapat lulus dengan cepat ya. Sudah banyak lulusan dari PTS yang bisa menuntaskan pendidikan S1 mereka dalam kurun waktu 3 – 3,5 tahun lhoh. Bahkan banyak juga yang lulus dengan prestasi cumlaude. Walaupun ada sedikit dari mereka yang menuntaskan pendidikan S1 mereka dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun.
Lulusan dari PTS selalu berada dibawah PTN?
Ohh belum tentu. Banyak lhoh lulusan dari PTS yang jabatannya berada diatas anak-anak lulusan PTN. Saat ini, tidak semua perusahaan besar melihat mereka dari almamaternya, akan tetapi dari kemampuan mereka berkompetisi. Dan tak jarang kendali perusahaan berada ditangan seorang lulusan dari PTS. Namun, tidak jarang pula perubahan management control terjadi, antara lulusan PTN dan PTS. But, it’s ok yaa.. mereka enjoy dengan apa yang mereka dapatkan sekarang kok..
Dan yaaa.. Apapun pilihan anda, meskipun anda di PTS, jangan berkecil hati. Hadapi itu semua dengan pikiran tenang, smart, dan wisely. Tidak semua yang memilih jalan di PTS akan terhambat perjalanannya karirnya kok. Buktikan bahwa anda juga bisa sukses. Dan jangan minder!
Dan yaa.. Bagi anda yang memilih PTN sebagai jalan hidup anda, jangan selalu anda menyepelekan orang-orang yang menimba ilmu di PTS. Karena belum tentu anda lebih hebat dari mereka yang berasal dari PTS..
*maaf apabila ada yang tidak berkenan, apabila ada yang tersinggung, dan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan*
Merci Beaucoup
--DEWI--
230413
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H