Mohon tunggu...
Al Widya
Al Widya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

...I won't hesitate no more... just write...!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hasratku pada Rindu…

31 Agustus 2012   12:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_203180" align="aligncenter" width="400" caption="pic by : nessya"][/caption]

Kemarilah cintaku.. malam ini aku merasa rembulan yang bersinar hangat itu milik kita.. mengapa?... kamu hanya diam membisu memandangku yang malam ini melihatmu dengan hasrat menggebu. Mengapa?.. kamu hanya tersenyum tipis dan tidak menggodaku seperti malam-malam sebelumnya. Mengapa tubuh indahmu tak segera mendekat dan seperti biasa kamu menikmati setiap belaian tanganku menari-nari menyentuhmu. Mengapa Rindu….

Braaakkkkk….. pintu kamar dibanting… nah… ke dua kali aku mendengar suara itu hari ini… ada apa sebenarnya?.. Rindu.. mengapa sikapmu berubah kasar.. aku semakin tidak mengenalmu… Rindu.. wanitaku… mengapa senyummu tak semanis dulu.. mengapa tatapanmu tak menggoda seperti waktu pertama kita bertemu?.. Rindu.. katakan padaku…

“ Bajingan…. Kamu memang laki-laki bejat” … haah… tuduhan yang sangat keji kepadaku…. Apa alasannya Rindu.. katakan kepadaku… apakah aku menyakitimu? Apakah aku mengkhianatimu?...

“ Aku ingin menikah denganmu, Peter…” kalimat itu menggelegar bagai petir dan guntur di siang hari.. menikah denganmu?... hahaha… ternyata itu masalahnya.. ingatlah Rindu… ingatlah kembali komitment yang sudah kita sepakati bersama.

“ Aku ingin kamu menikahiku.. aku mencintaimu, Peter…” sekali lagi kalimat itu kudengar untuk yang kedua kali. Hatiku tetap tidak bergetar.. Rindu.. mengapa tiba-tiba kamu berubah... cinta… apa itu rasanya.. bahkan aku sudah hampir melupakannya. Kita memang tinggal bersama.. kita memang sering memadu cinta… kita memang menikmati setiap alunan tembang asmara saat kita bersama. Namun tak pernah ada cinta diantara kita… entahlah.. Rindu.. aku sangat menjaga komitment yang telah kita sepakati….

“ Kamu kejam, Peter.. aku wanita dan memiliki cinta… salahkah jika aku mencintaimu?..” Rindu.. kamu tetap saja menawarkan cinta porak-poranda kepadaku… hahaha… hatiku sudah beku.. jiwaku telah buta oleh cinta.. hanya gelap yang ada.. Mengapa Rindu?... tak adakah pria di luar sana yang kau pilih menjadi suamimu?.. mengapa Rindu?.. sudah tak adakah pria-pria yang belum tidur bersamamu?...

Ingatlah siapa kita Rindu… kita partner kerja.. kau seorang wanita penjaja cinta dan aku seorang pria pemuas nafsu wanita… kita selalu bekerja sama.. kita solid dan kita tidak pernah menghalangi kegiatan mencari lembar demi lembar uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Ingatlah komitment kita bahwa kita tidak akan berhenti menjajakan cinta dan menjual diri demi materi…

“ Aku ingin berhenti dari semua ini, Peter…” Sekali lagi Rindu… aku mencari-cari kebenaran kata-katamu.. aku sadar.. siapa yang ingin hidup seperti kita? Bergumul dengan dosa dan resiko penyakit mematikan. Rindu, maafkan aku…

“ Aku sudah tidak sanggup melihatmu bercumbu dengan wanita-wanita itu, Peter… tinggalkan dunia hitam ini… aku ingin berhenti bergelimang lumpur kemaksiatan..” Ahh.. Rindu.. aku bahkan tidak mendengar kalimat dari mulutmu.. aku kembali mendesah.. menikmati setiap inchi tubuhmu.. menghujam hasrat merindu padamu.. Rindu.. kamu bagaikan secangkir madu.. begitu manis kuteguk setiap kenikmatan darimu… Rindu, maafkan aku ….

“ Aku pergi, Peter.. selamat tinggal… semoga kita bertemu lagi…” Ah, Rindu… secepat inikah keputusanmu? Lalu siapa yang akan mengurus bisnis kita? Siapa yang akan mengurusku? Siapa yang akan menghagatkanku di malam-malam yang dingin? Saat kehilangan kita akan merasakan rasa membutuhkan… sungguh, Rindu.. aku kehilanganmu.. ketika hasratku menggebu.. mencari bayangmu.. menyiksaku…

Hidupku timpang sejak kau pergi, Rindu.. seakan hanya memiliki satu kaki.. aku goyah.. aku lemah tanpamu… aku merindukanmu… dimana kamu saat ini?.. Rindu.. renunganku setahun tanpamu membuatku sadar, bahwa aku membutuhkanmu.. aku merindukanmu.. aku mengharapkan kehadiranmu dalam hidupku…

Aku menyerah Rindu.. hidup tanpamu bagai berdiri di ujung batu.. begitu keras dan panas.. aku tak sanggup menjalani tanpamu.. aku membutuhkanmu.. Aku meninggalkan kehidupan hitamku demi untukmu… Rindu, mungkin inilah jalanku.. mencintaimu dengan caraku…

Aku ingin kembali kepadamu, Rindu… di saat tubuh ini mulai rapuh.. tanpa kusadari penyakit itu mendera dan meremukkan rongga-rongga dalam tubuhku. Badanku semakin lemah.. tenagaku tak mampu menjamah tubuh-tubuh indah.. aku pasrah.. dalam keremangan tatapan mataku yang semakin hari semakin tak menentu. Ahh… Rindu aku ingin bersamamu.

Pintu pagar rumah sederhana itu terbuka menandakan pemilik rumahnya ada. Dadaku berdebar sesaat sebelum memasuki halamannya.. telingaku menangkap tangis bayi dari dalam rumah… Rindu.. salahkah alamat yang kau berikan kepadaku.. kakiku sejenak meragu.. haruskah keteruskan?

“ Masuklah, Peter… lihatlah anakmu..” Haaahhh… sungguh aku tidak menyangka kepergianmu membawa benih anakku… sungguh aku tidak tahu… sungguh aku berdosa sekali menelantarkanmu dan anakku… duh… Rindu.. maafkan aku….

*****

Matahari senja tampak lelah memancarkan sinarnya. Temaram jingga meredup seiring tenggelamnya sang surya. Angin sore sepoi-sepoi menari-nari memainkan syal yang melingkar di lehernya. Suara berderit teras berlantai kayu mengikuti langkah kaki berhenti di dekat pohon kamboja yang sedang berbunga. Matanya tajam menatap ke awan membayangkan kehadiran sang rembulan menghangatkan malam..

“ Sayang…. Kamu di sini rupanya… aku bawakan teh dan pastel kesukaanmu…” suara lembut itu terdengar sangat dekat. Ia membawa sebuah nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring kue pastel yang masih hangat. Hmmm.. sungguh baunya nikmat sekali. Dengan sabar dan cekatan tanganmu yang halus membantuku memegang cangkir teh hangat kesukaanku.

Rindu, pemilik suara lembut itu tak pernah berhenti membisikkan kata cinta untukku. Ia selalu bercerita kegiatannya hari ini dengan keceriaan dan tawanya yang terasa menentramkan jiwa. Ia selalu menceritakan perkembangan Reza anakku tahap demi tahap setiap harinya.. Ah.. Rindu istriku.. Rindu kekasihku.. belahan jiwaku..

Hidup di dunia memang seperti roda yang berputar mengikuti porosnya, dan manusia seolah-olah berada di atas jari-jarinya… mengikuti kemana arah roda berputar, harus rela menerima posisi dimana saja, kadang di bawah kadang di atas…

“Peter, sayang.. ayolah belai anakmu.. berikan kasih sayangmu pada buah hatimu..” malam itu suara lembutmu menuntun tanganku di atas kepala anakku yang telah berusia tiga tahun. Papa…. Ia memanggil namaku.. ya.. aku telah menjadi seorang ayah. Tiba-tiba terbersit ketakutanku akan karma. Setiap dosa-dosa manusia akan menjadi karmanya di dunia.. Ah.. sekali lagi kutepis bayangan kelam dengan memeluk Rindu dan mencumbunya dalam kegelapan malam…. Dia wanita yang sempurna.. meski masa lalunya kelam.. namun aku yakin anak yang dilahirkannya pasti akan sesempurna ibunya… harap dan doaku selalu di siang dan malam.
*****

Aku, Peter… keluargaku kaya raya… ayahku adalah seorang penguasa… tak sedetikpun aku pernah merasa sengsara. Hidupku bagai di surga.. apapun yang kuinginkan pasti ada dan terlaksana… bahagiakah hidupku?... ternyata tidak… aku tidak pernah merasa puas dengan hidupku.. Aku selalu ingin berada di atas segalanya. Aku merasa selalu ada manusia yang berada di atasku… dan aku tidak bisa menerimanya.. berbagai cara akan kutempuh untuk menjatuhkannya.

Sampai ayahku wafat dan meninggalkan kami dalam perseteruan harta warisan dari keempat istrinya. Dan ibuku sebagai istri tertua dan seorang yang sangat sabar hanya bisa pasrah dan menerima seluruh kekayaan dirampas oleh madu-madunya. Aku tidak rela.. aku memberontak dengan kepasrahan ibu sampai akhirnya satu-satunya orang yang kusayang itu menutup mata untuk selama-lamanya.

Hidupku terbalik sembilan puluh derajat. Aku terjatuh dan tak kuasa bangkit… aku terpuruk dalam gelimang obat-obatan dan hutang-piutang… sampai pertemuanku dengan Rindu… wanita penjaja cinta yang selalu membantuku.. kami senasib.. kami seiring dan sejalan.. sampai aku bangkit… dan menikmati kebersamaan dengannya.. Rindu… di mataku ia begitu sempurna..

Saat kunikmati malam itu… terbayang setiap jengkal tubuhmu.. mencumbumu seperti bulan pernama memancarkan hangat sinarnya. Rindu.. terimakasih atas cintamu… kamu telah memberikan surga dalam hidupku… walau dalam gelapku.. aku memang buta… mamun hatiku sangat jelas melihat ketulusan cintamu. Terima kasih Rinduku………. [end]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun