Hidupku timpang sejak kau pergi, Rindu.. seakan hanya memiliki satu kaki.. aku goyah.. aku lemah tanpamu… aku merindukanmu… dimana kamu saat ini?.. Rindu.. renunganku setahun tanpamu membuatku sadar, bahwa aku membutuhkanmu.. aku merindukanmu.. aku mengharapkan kehadiranmu dalam hidupku…
Aku menyerah Rindu.. hidup tanpamu bagai berdiri di ujung batu.. begitu keras dan panas.. aku tak sanggup menjalani tanpamu.. aku membutuhkanmu.. Aku meninggalkan kehidupan hitamku demi untukmu… Rindu, mungkin inilah jalanku.. mencintaimu dengan caraku…
Aku ingin kembali kepadamu, Rindu… di saat tubuh ini mulai rapuh.. tanpa kusadari penyakit itu mendera dan meremukkan rongga-rongga dalam tubuhku. Badanku semakin lemah.. tenagaku tak mampu menjamah tubuh-tubuh indah.. aku pasrah.. dalam keremangan tatapan mataku yang semakin hari semakin tak menentu. Ahh… Rindu aku ingin bersamamu.
Pintu pagar rumah sederhana itu terbuka menandakan pemilik rumahnya ada. Dadaku berdebar sesaat sebelum memasuki halamannya.. telingaku menangkap tangis bayi dari dalam rumah… Rindu.. salahkah alamat yang kau berikan kepadaku.. kakiku sejenak meragu.. haruskah keteruskan?
“ Masuklah, Peter… lihatlah anakmu..” Haaahhh… sungguh aku tidak menyangka kepergianmu membawa benih anakku… sungguh aku tidak tahu… sungguh aku berdosa sekali menelantarkanmu dan anakku… duh… Rindu.. maafkan aku….
*****
Matahari senja tampak lelah memancarkan sinarnya. Temaram jingga meredup seiring tenggelamnya sang surya. Angin sore sepoi-sepoi menari-nari memainkan syal yang melingkar di lehernya. Suara berderit teras berlantai kayu mengikuti langkah kaki berhenti di dekat pohon kamboja yang sedang berbunga. Matanya tajam menatap ke awan membayangkan kehadiran sang rembulan menghangatkan malam..
“ Sayang…. Kamu di sini rupanya… aku bawakan teh dan pastel kesukaanmu…” suara lembut itu terdengar sangat dekat. Ia membawa sebuah nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring kue pastel yang masih hangat. Hmmm.. sungguh baunya nikmat sekali. Dengan sabar dan cekatan tanganmu yang halus membantuku memegang cangkir teh hangat kesukaanku.
Rindu, pemilik suara lembut itu tak pernah berhenti membisikkan kata cinta untukku. Ia selalu bercerita kegiatannya hari ini dengan keceriaan dan tawanya yang terasa menentramkan jiwa. Ia selalu menceritakan perkembangan Reza anakku tahap demi tahap setiap harinya.. Ah.. Rindu istriku.. Rindu kekasihku.. belahan jiwaku..
Hidup di dunia memang seperti roda yang berputar mengikuti porosnya, dan manusia seolah-olah berada di atas jari-jarinya… mengikuti kemana arah roda berputar, harus rela menerima posisi dimana saja, kadang di bawah kadang di atas…
“Peter, sayang.. ayolah belai anakmu.. berikan kasih sayangmu pada buah hatimu..” malam itu suara lembutmu menuntun tanganku di atas kepala anakku yang telah berusia tiga tahun. Papa…. Ia memanggil namaku.. ya.. aku telah menjadi seorang ayah. Tiba-tiba terbersit ketakutanku akan karma. Setiap dosa-dosa manusia akan menjadi karmanya di dunia.. Ah.. sekali lagi kutepis bayangan kelam dengan memeluk Rindu dan mencumbunya dalam kegelapan malam…. Dia wanita yang sempurna.. meski masa lalunya kelam.. namun aku yakin anak yang dilahirkannya pasti akan sesempurna ibunya… harap dan doaku selalu di siang dan malam.
*****