Mohon tunggu...
Al Widya
Al Widya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

...I won't hesitate no more... just write...!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Love Melody... [Part 5]

28 Maret 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Love Melody...[Part 5]

Mozart menepati janjinya malam itu tepat jam 08:00 malam ia sudah berada di ruang tamu apartemen Mel. Mozart sudah terbiasa kemana-mana sendiri dengan kursi rodanya. Jadi ketika memasuki apartemen dan menaiki lift ia tidak perlu batuan siapapun untuk mengantarnya. Kecuali di tempat-tempat tertentu ia akan meminta sopir untuk menolongnya. Mel menyambut hangat kedatangannya. Malam itu Mel terlihat biasa saja namun tetap menarik di mata Mozart. Mel hanya mengenakan gaun polos dengan kerah sabrina sederhana sebatas lutut berwarna pastel orange.Tante Anissa memang masih berada di London sampai akhir bulan ini sehingga ia tidak bisa memperkenalkan kekasihnya kepada tantenya itu.

“Apa yang kamu lakukan sebelum kita berbicara di chattingroom, sunshine?” Mozart memeluk pinggang Mel setelah meminum teh hangat yang dibuatkan Mel untuknya.

“Tidak begitu menarik, saya hanya menulis di blog atau nonton film. Kamu?” Mel menikmati wangi parfum Mozart.

“Sejak delapan bulan lalu saya menyendiri dan menyesali diri sendiri. Tidak seekstrim yang kamu duga….saya hanya bermain dart atau shootgun! Apakah saya terlalu possessive Atau naïf, sunshine?” Mozart sedikit terkejut saat Mel tiba-tiba membalikan badan menghadap tepat di wajahnya, menatap tajam matanya dan menggenggam tangannya.

“Ada yang mengganggu fikiranmu, sayang… kalau tidak keberatan kamu bisa menceritakan sekarang” Mel memang sedang dalam penyelesaian S2nya study psikologi. Ilmu yang telah ia pelajari sejak lulus SMA itu sedikit banyak membuatnya cepat menangkap perubahan prilaku pada seseorang di hadapannya. Ia sebenarnya bisa merasakan frustasi dari getaran tangan dan tatapan mata Mozart saat pertama kali bertemu.

“Baiklah, saya sangat serius memikirkan kamu..bahkan saya berniat menjadikan kamu sebagai permaisuri di kerajaan kita. Namun saya tidak memiliki kekuatan untuk memintamu..sungguh ini semua karena aku tidak…tidak….ahhh” mata dihadapan Mel terlihat sangat lelah dan putus asa.

“Saya tahu… bukankah Dokter masih menemukan kemungkinan kamu akan sembuh, sayang?” Mel hanya mampu memberi kekuatan, padahal ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sangat memahami tidakhanya kelumpuhan kedua kakinya tetapi juga gangguan disfungsi ereksi yang dirasakan Mozart sejak kecelakaan Sembilan bulan yang lalu.

“Ini sudah Sembilan bulan…saya hampir menyerah..” Mozart tersenyum tipis.

“Saya mencintaimu, Moz…” Mel memeluk pria di hadapannya erat.

“Kamu masih memiliki waktu untuk memilih, sunshine….saya tidak ingin membuatmu menderita” Mozart memejamkan matanya dalam rengkuhan Mel. Gadis itu tidak menjawab namun Mozart merasakan pelukan Mel semakin erat.

*****

Selama tiga minggu ini Mel merasakan bahwa hatinya benar-benar telah tertambat pada Mozart. Ia bahkan tidak memperdulikan keadaan kekasihnya yang lumpuh justru Mel sangat rajin mengunjungi Mozart. Mereka duduk di sofa saling bercerita dan bercanda. Mel memiliki banyak cerita lucu tentang murid-muridnya sementara Mozart adalah seorang pendengar yang baik, atau ia tidak memiliki apapun yang harus ia ceritakan. Mozart hanya bekerja dan memikirkan proyek-proyeknya sehingga ia merasa tidak terlalu menarik untuk diceritakan.

“Hahaha….. ini lucu, sunshine!” Mozart tergelak saat Mel menceritakan kelucuan murid-muridnya di kelas kesenian pagi tadi, sehingga tanpa sadar ia mengangkat kakinya.

“Ya Tuhan…benarkah kamu mengangkat kakimu, sayang?” Mel benar-benar terkejut melihat gerakan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Benarkah?” Mozart sendiri merasa tidak percaya.

Mel segera bergerak dan duduk tepat di dekat kaki Mozart. Ia mengusap kaki panjang itu sebentar. “Bisakah kamu melakukannya lagi, sayang?”

“Oh tidak…saya tidak bisa…itu tadi hanya gerakan tidak sengaja” Mozart meringis menyadari ia sudah tidak bisa melakukan gerakan mengangkat kaki itu lagi. Ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya.

“Tapi setidaknya ini gerakan pertama sejak delapan bulan yang lalu, bukan? Ini mungkin pertanda bahwa syaraf di kamu masih berfungsi” Mel memeluk kaki Mozart erat sementara pemiliknya mengiyakan namun masih belum membuka matanya.

Setelah kejadian itu tidak pernah terjadi gerakan spontan lagi pada kedua kaki Mozart. Ia terlihat sedikit frustasi akhir-akhir ini apalagi pekerjaannya cukup menyita waktunya bertemu dengan Melody.

Sore itu Mel datang tergesa-gesa memasuki aparteman kekasihnya. Ia baru saja menyelesaikan ujian akhir semester untuk siswa tingkat tiga. Beberapa siswa memang memerlukan penanganan khusus untuk mencapai kompetensinya. Itu sebabnya hari ini gadis cantik itu datang agak sedikit lama dari biasanya.

Mozart masih bekerja di ruangan luas namun bernuansa minimalis. Hal ini sengaja dibuat untuk menciptakan kenyamanan Mozart bergerak kesana-kemari dengan kursi roda di ruangannya sendiri sejak hampir setahun yang lalu.

“Selamat sore, sayang….apakah kamu masih sibuk?” Mel tersenyum memasuki ruangan,

“Ahh…sunshine! Saya sudah menunggumu sejak dua jam yang lalu. Hari yang melelahkan, bukan?” Mozart memeluk Mel dan mereka berciuman beberapa detik.

“Yup…dan kamu juga terlihat sangat sibuk. Bagaimana kalau saya membuat kopi?” Mel memutar kepalanya memperhatikan map yang masih terbuka dan laptop yang masih menyala.

“Baiklah, honey…..TIDAK TERLALU MANIS DAN TIDAK TERLALU KENTAL!!!” Mozart dan Mel mengucapkan kalimat itu secara bersamaan dan tertawa lepas.

Beberapa menit kemudian Mel meletakkan secangkir kopi cream hangat di meja. Ia sendiri memegang cangkir yang lainnya. Mozart terlihat masih berbicara dengan seseorang melalui selularnya. Mel memperhatikan meja yang sedikit berantakan. Tangannya secara reflek merapikan tumpukan kertas-kertas yang berserkan dan meletakkannya dalam tumpukan yang rapi. Tanpa sengaja ia menemukan selembar kertas yang sangat ia kenal, sebuah rekam medik!...Mel melihat deretan hasil pemeriksaan Lab lalu meletakkan kembali di meja. Mozart masih berbicara menghadap jendela dan Mel memutuskan membersihkan kertas yang tidak terpakai di lantai. Ada beberapa kertas berbentuk remasan dan sobekan di sudut meja. Mel menyelesaikan dalam beberapa menit. Ia melihat Mozart masih menghadap jendela, namun kali ini ia sudah tidak berbicara. Mel melihat kekasihnya itu terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Mel masih menunggu….. beberapa detik kemudian Mozart kembali ke meja kerjanya….

“Apa ini?....” Mozart memandang Melody yang masih berdiri di seberang meja. Gadis itu terlihat terkejut dan bingung.

“Ah.. saya hanya merapikan meja kerjamu. Apakah itu salah?” Mel merasa ada sesuatu di mata Mozart.

“Dengar sunshine….saya memang lumpuh tetapi bukan berarti saya tidak mampu melakukan apa-apa….” Mozart terlihat sangat frustasi dengan kalimatnya.

“Sayang…. Saya hanya…..(kalimat Mel tergantung) baiklah, lalu saya harus bagaimana?” Mel benar-benar bingung menghadapi sikap Mozart yang mendadak tidak ia kenal.

“Okay, tapi bisakah kamu berhenti…” Mozart berkata setelah beberapa menit memandang monitor komputer lalu ia sibuk sebentar. Melody masih duduk di sofa sambil memegang cangkir kopinya.

“Berhenti apa?” mata Mel berkedip-kedip tanda ia tidak mengerti.

“Berhenti dari semua ini…saya muak dengan perlakuan semua orang termasuk perlakuanmu barusan! Berhentilah melakukan semua untuk saya, please! saya bisa melakukan semua sendiri….Saya sudah capek diperlakukan seperti ini!!” Mozart mengepalkan kedua tangannya dan meletakkan kepalanya di kedua lengannya di meja.

“Okay…tapi saya melakukannya karena saya mencintai kamu..” Mel berusaha untuk tidak terbawa emosi. Ia sadar kekasihnya memiliki tekanan sehingga ia menjadi sedikit lepas kontrol. Ia merasa Mozart memerlukan sedikit waktu untuk sendiri sehingga ia memutuskan untuk pulang...selain Mel sendiri mengkhawatirkan jika ia tetap di sini, maka ia akan ikut terbawa suasana panas.

“Mel, kamu mau kemana?” Mozart memandang kekasihnya saat Mel dengan tergesa-gesa meletakkan cangkir kopinya di meja dan meraih tas ranselnya.

“Pulang… sepertinya kamu perlu waktu untuk sendiri, selain itu bukankah kamu bisa melakukan semua sendiri? Jadi lebih baik bersiaplah konsultasi dengan dokter malam ini, karena kelihatannya setelah pemeriksaan hematologi perlu ada tindakan lebih serius” Mel yang telah membaca hasil Lab Mozart tersenyum tipis sambil membelai pundak kekasihnya.

“Mel…. Tunggu” Mozart terlambat. Gadis itu sudah menutup pintu apartement.

Mozart mengepal kedua telapak tangannya dan berjalan menuju jendela memandang awan-awan menghitam melintas. Siaaaalll………pria itu berteriak sambil memukul-mukul kursi roda dengan kepalan tangannya.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun