"Berani Jujur, Hebat!"-Kutipan di depan gedung KPK.
Mungkin sudah berapa banyak dari kita yang sering mendengar atau membaca kalimat di atas. Kampanye-kampanye untuk menanamkan nilai moral berani jujur adalah hal yang hebat seperti yang tertulis di depan gedung KPK nyatanya tidak semudah membalikan telapak tangan. Kalimat yang menyatakan "Berani Jujur, Hebat!" sebenarnya lebih mirip sebuah sindiran halus untuk mengisyratkan bahwa sebuah kejujuran memerlukan perjuangan, niat, atau bahkan mungkin puasa 3 hari 3 malam.
 Kejujuran justru terkesan suatu hal yang sudah bukan lagi jadi bagian dari hidup yang "lumrah" karena harus dilakukan dengan penuh keberanian sedangkan hanya sedikit manusia yang dianugerahi sebuah keberanian. Sehingga kejujuran saat ini sepertinya lebih mirip sesuatu yang eksklusif bukanlah gaya hidup lumrah kita.
Tentu walau kejujuran dianggap memerlukan banyak keberanian hingga bisa disebut "hebat" kita semua mengakui bahwa kejujuran ialah nilai yang sangat luhur, baik ditinjau dari segi agama, moral maupun pergaulan dalam masyarakat. Tapi di sisi lain kita pun sadar betul bahwa das sollen dan das sein sering tidak sejalan.
 Meski kita sebenarnya sangat-sangat membenci suatu kejahatan yang berhubungan dengan ketidakjujuran seperti korupsi, mencuri, penggelapan, dll seakan akan kita juga yang sedang menjilat ludah kita sendiri karena setelah kita berkomentar pedas di depan TV menghujat para koruptor dan dengan gemetar penuh amarah berkata "koruptor harus dihukum mati" tidak lama kemudian berapa banyak dari kita juga yang sering juga lebih sering memilih reaksi yang berlawanan dengan integritas seperti "Mencontek itu kan tidak merugikan siapapun?", "Mencontek itu kan bukan korupsi yang mencuri uang negara?", atau sedikit ekstrim mengatakan "Jangan sok suci kamu" terhadap orang yang tidak mau mencontek.
Percontekan, membeli kunci jawaban UN, hanya bagian kecil dari kompleksitas permasalahan infeksi virus ketidakjujuran. Tidak merugikan siapapun? Benar sekali, tidak satupun dari kita yang merasa rugi tentang adanya percontekan. Paling parah mungkin hanya korban sakit hati akibat memilih jujur dalam ujian namun nilai hasil akhirnya tidak sebagus mereka yang mengerjakan ujian dengan tidak jujur.Â
Walau tidak bisa juga dibuktikan unsur kerugian berhubungan dengan unsur kesalahan tidakan tersebut namun tetap saja hal ini jangan dianggap sepele. Kita tentu pernah mendengar pepatah bijak yang mengatakan "Semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang angin yang menerpanya". Apabila kita memikirkan peribahasa itu lebih aplikatif, mungkin itulah alasan kita tidak pernah pohon toge diberitakan hancur karena angin puting beliung, namun pohon toge hancur karena diinjak manusia.Â
Sedangkan pohon beringin juga tidak pernah diberitakan hancur diinjak manusia, karena pohon beringin biasanya tumbang setelah mengalami hujan badai. Maknanya dari contoh ini ialah berbeda level kita berada, pasti berbeda permasalahan yang akan dihadapi. Permasalahan percontekan kunci jawaban UN adalah suatu tindakan ketidak jujuran yang dilakukan oleh kalangan siswa. Sementara perjokian skripsi atau tugas kuliah adalah suatu tindakan ketidak jujuran yang dilakukan oleh mahasiswa.Â
Lalu penggelapan uang perusahaan adalah tindakan ketidakjujuran yang dilakukan oleh pekerja perusahaan. Sedangkan korupsi ialah tindakan ketidakjujuran yang dilakukan oleh pejabat negara. Semua tindakan tersebut mempunyai kesamaan pada sifat ketidakjujuran dalam tindakannya, namun yang membedakan disini ialah subyek atau pelaku tindakan ini yang menyebabkan tindakan ini menjadi beraneka-macam.Â
Tentu saja masuk akal apabila kita memakai logika sederhana bahwa siswa biasa tidak mungkin menggelapkan uang perusahaan, mahasiswa tidak mungkin korupsi karena ia bukan pejabat negara, sementara pejabat negara tidak mungkin membeli bocoran kunci jawaban UN dan melakukan percontekan untuk kepentingannya sendiri.
 Sehingga bagaimana rupa kejahatan itu tergantung siapa (status) yang melakukan. Oleh karena itu bagi Anda  yang belum terjerat kasus korupsi jangan senang dulu barangkali Anda sudah punya potensi namun belum punya kesempatan karena Anda hanya rakyat biasa seperti saya yang tidak punya kesempatan untuk melakukan korupsi.