Mohon tunggu...
widya astyoka
widya astyoka Mohon Tunggu... -

mahasiswi jurusan ilmu ekonomi dan study pembangunan, konsentrasi moneter, Universitas Jember.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilema Impor Beras

26 Mei 2015   12:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilansir dari kompas.com (16/5), Presiden Jokowi mengatakan bahwasannya kenaikan harga beras yang tengah menghantam indonesia diakibatkan oleh desakan impor beras dari negara lain. Hal ini terkait dengan dikeluarkannya Inpres No 5 Tahun 2015 yang membuka keran impor bagi komoditi beras. Namun begitu, jokowi tampaknya tidak setuju dengan kebijakan impor beras yang nantinya akan menyengsarakan petani dalam negeri.

Sejalan dengan Jokowi, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel juga menegaskan bahwasannya impor beras merupakan kebijakan terakhir yang dapat diambil untuk menurunkan harga beras di tanah air. Kendati demikian, tampaknya kementerian perdagangan telah siap melakaukan impor beras jika keadaan mendesak yang dilakukan secara G2G (government-to-government). Artinya, impor yang dilakukan tidak melalui swasta melainkan melalui pemerintah (BULOG) yang bertujuan untuk menekan harga beras impor.

Peningkatan kesejahteraan petani vs pengendalian inflasi

Pendapat Jokowi yang mengatakan bahwa impor beras menyengsarakan petani lokal memang beralasan. Pasalnya, jika indonesia diserbu oleh beras dari luar negeri, harga beras dalam negeri akan mengalami penurunan. Artinya, petani lokal akan dirugikan oleh penurunan harga beras dan penurunan permintaan akan beras lokal. Kendati demikian, aneh rasanya jika Inpres yang seharusnya merupakan intruksi presiden berhalangan dengan pendapat presiden itu sendiri.

Seharusnya jika jokowi benar-benar berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ia tidak akan membuka keran impor bagi pengadaan beras. Pemenuhan beras haruslah diupayakan dengan peningkatan produksi dalam negeri yang mencerminkan usaha peningkatan kesejahteraan. Walaupun hingga saat ini impor tersebut belum dilakukan, keluarnya Inpres No 5 Tahun 2015 merupakan sinyal awal masuknya impor beras ke dalam negeri.

Mendag mengatakan dibukannya keran impor beras kedalam negeri dilakukan demi menjaga stabilitas harga dalam negeri. Hal ini merupakan upaya pengendalian tingkat inflasi dimana beras merupakan salah satu penyumbang besarnya. Penelitian Bank Indonesia yang dilakukan oleh Nugroho, Tri, dan Yoni (2008), menghasilkan kesimpulan bahwa komoditas pangan (beras, daging sapi, dan cabe) meyumbang tingkat inflasi yang cukup signifikan. Dalam 3 tahun terakhir komoditi pangan tersebut menyumbang 27,2%. Hal ini terjadi lantaran kurangnya pasokan dan terhambatnya distribusi komoditi.

Walaupun laporan kementerian pertanian menyatakan bahwa produksi beras lokal masih mencukupi dalam waktu dekat, musim libur lebaran yang segera tiba perlu menjadi pertimbangan kembali. Pasalnya, libur lebaran akan meningkatkan harga komoditi pokok di indonesia. jika pemerintah tetap bersikeras untuk menghalangi jalannya impor beras, ditakutkan harga akan melonjak tajam pada bulan juni nanti.

Permasalah kurangnya pasokan beras dalam negeri dan rendahnya harga yang harus diterima petani lokal atas komoditas pangan utama di indonesia memang terdengar sungguh miris. Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai negeri agraris seharusnya memiliki produksi melimpah atas kekayaan alamnya. Pada kenyataannya, terkikisnya lahan pertanian hari demi hari merupakan bukti kurangnya tingkat kemakmuran petani lokal.

Seharusnya jika pemerintah berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan setengah-setengah yang mengancam petani dalam negeri. Jika memang produksi beras dirasa kurang mencukupi permintaan pasar, maka sektor agribis perlu dibenahi kembali. Keuntungan tingginya harga beras yang selama ini lebih banyak dirasakan oleh tengkulak nakal perlu untuk ditindak ulang. Regulasi harga yang telah diberlakukan tidak akan berdampak signifikan jika tangan-tangan nakal masih bebas berkeliaran mempengaruhi harga.

Dukungan bagi wirausaha disektor agribis yang berorientasi ekspor dalam rangka mendukung ketahanan pangan perlu untuk dicangakan dengan baik. Hal ini bisa diimbangi dengan kemudahan petani dalam memperoleh akses terhadap produk penunjang pertanian. Pada akhirnya, pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu untuk bersikap tegas dan membuat kebijakan berdasarkan pemikiran matang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun