Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dahulu, literasi identik dengan kemampuan menulis. Seseorang telah dikatakan berliterasi apabila ia telah melakukan aktivitas menulis. Lalu bagaimana sekarang? Definisi literasi telah berkembang.
Definisi ketiga ditekankan pada diksi "mengolah informasi" ini identik dengan kemampuan reseptif, yakni membaca dan memirsa. Dengan demikian, aktivitas literasi lebih condong pada kegiatan membaca dan memirsa. Lalu membaca yang bagaimana? Membaca tingkat lanjutlah yang disasar.
Dari kegiatan membaca tersebut, seseorang dapat meningkatan kecakapan hidupnya dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Hal tersebut berlangsung secara terus-menerus. Apabila seseorang semakin banyak membaca, wawasannya akan bertambah. Bertambahnya wawasan tersebut secara simultan akan menentukan sikap, pandangan, dan pola pikir setiap individu.
Hal tersebut berkorelasi dengan tujuan  pendidikan, yakni  mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui proses pendidikan, peserta didik dibelajarkan untuk mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Untuk itu, guru memiliki peran yang sangat penting untuk mendorong pengembangan potensi peserta didik. Â Hal yang menjadi masalah ialah bagaimana cara membelajarkan literasi? Apakah cukup dengan membelajarkan peserta didik untuk membaca dan menulis saja?
Mencermati hasil uji coba lapangan bahan bacaan baru PISA 2018 yang dikeluarkan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019,  framework  tersebut mencakup beberapa proses kognitif dengan berbagai tingkat kesulitan. Proses kognitif tersebut dimulai dari tingkat kognitif rendah, sedang, dan tinggi. Indikator level kognitif rendah berupa menemukan informasi dalam teks dan mampu menemukan informasi pada sumber yang relevan. Adapun kemampuan kognitif sedang berupa kemampuan pemahaman terhadap isi teks yang meliputi merepresentasi informasi dan menginterpretasi dan menyimpulkan. Sementara itu, kemampuan kognitif tingkat tinggi berupa kemampuan mengevaluasi dan merefleksi yang meliputi menilai kredibilitas dan kualitas informasi serta merefleksi isi dan bentuk untuk mengungkapkan tujuan dan atau sudut pandang penulis teks.
Hal itulah yang perlu dibelajarkan oleh guru. Kemampuan guru untuk menciptakan iklim belajar yang dapat menstimulasi kemampuan berpikir siswa sangat diperlukan. Melalui penghadiran bacaan, guru membelajarkan literasi melalui pertanyaan-pertanyaan yang dapat menstimulasi siswa untuk menemukan dan mengakses, membandingkan, Â menginterpretasi, menggeneralisasi, mengevaluasi, dan merefleksi informasi yang didapatnya.
Hal yang tidak kalah penting pula ialah guru dituntut untuk mampu menghadirkan asesmen yang selaras dengan pola yang digunakan dalam pembelajaran. Melalui asesmen formatif, proses membelajarkan literasi tersebut dilakukan. Lalu, melalui asesmen sumatif, guru dapat menilai kemampuan literasi siswanya.
Lagi-lagi, kemampuan adaptasi guru terhadap perkembangan soal kekinian sangat diperlukan. Tidak hanya beradaptasi, guru seyogianya mampu menghadirkan soal seperti itu dalam pembelajaran. Penulisan soal berstandar ujian nasional (UN) mulai perlahan harus  diubah.
Bukan perkara yang mudah. Setelah sekian lama hal tersebut-lah yang digunakan. Namun, dengan potensi besar yang dimiliki oleh setiap guru, rasanya hal tersebut bukan hal yang musykil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H