Kata "literasi" merupakan kata yang lazim kita dengar beberapa tahun terakhir ini. Segala hal dikaitkan dengan literasi. Karena penasaran, saya pun mengetikkan kata "literasi" tersebut di mesin pencari, Google. Dalam hitungan 0,40 detik telah muncul hasil  yang cukup mencengangkan, yakni 48.5 juta (31/5/2023). Hasil yang fantastis untuk sebuah pencarian.
Pencarian tersebut saya lakukan di Google Indonesia. Ketika kata literasi saya ketikkan dalam bahasa Inggris, literacy, hasil yang lebih mencengangkan ditunjukkan oleh mesin pencari ini. Ada 675 juta hasil dalam hitungan 0,35 detik saja (31/5/2023). Sungguh luar biasa.
Apabila data tersebut merupakan hasil pencarian secara umum, bagaimana dengan hasil berkaitan dengan kajian akademis? Antusiasme peneliti rupanya cukup tinggi untuk mengkaji literasi ini dalam penelitian mereka. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil pencarian di Google Scholar. Situs ini merupakan rujukan para akademisi untuk mencari referensi ilmiah terkait dengan topik penelitian. Berdasarkan pencarian di situs tersebut, Â dalam waktu 0,05 detik ditemukan 125 ribu kata kunci berkaitan dengan penelitian literasi di Indonesia. Adapun dalam lingkup global, dalam 0,07 detik didapatkan 4,87 juta kata kunci berkaitan dengan penelitian perihal literasi di seluruh dunia (31/5/2023).
Rupanya, tren antusiasme tersebut diperkirakan akan tetap tinggi pada beberapa tahun ke depan. Elsevier sebagai web penyedia jurnal ilmiah yang terindeks scopus, memprediksi topik ini tetap menjadi tren penelitian tahun 2023.
Apa yang bisa kita simpulkan dari hasil tersebut? Rupanya, literasi merupakan hal yang populer dan menjadi fokus perhatian, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dalam lingkup global. Banyak orang yang tertarik untuk mengetahui, mendapatkan informasi lebih jauh, bahkan menjadikan literasi sebagai objek penelitian.
Sebenarnya mengapa literasi begitu urgen digalakkan di Indonesia? Seberapa kritis kondisi kita dalam lingkungan masyarakat literat?
Rasa-rasanya data kuantitatif yang dipaparkan penelitian internasional seperti PIRLS dan PISA selama beberapa periode terhadap tingkat literasi masyarakat Indonesia telah cukup banyak. Hasil yang menempatkan siswa  Indonesia pada posisi rendah dalam tataran masyarakat literat dunia. Bahkan rilis rapor pendidikan 2022 pun memperkuat  fakta tersebut. Kemampuan literasi siswa SD dan SMP memprihatinkan. Data rapor pendidikan tersebut menyimpulkan bahwa kurang dari 50% siswa yang mencapat batas kompetensi minimum. Hasil yang sedikit lebih baik didapatkan pada siswa SMA. Data menunjukkan bahwa  dalam hal literasi membaca,  sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum. Namun, mereka belum berada pada kategori mahir (Pusmendik Kemdikbud, 2022). --Hingga saat tulisan ini ditulis, kemampuan literasi siswa secara nasional belum dapat diakses.--
Hasil yang memiriskan tersebut telah disikapi oleh pengambil kebijakan di berbagai lembaga dan kementerian melalui berbagai program. Sebut saja Gerakan Literasi Sekolah (GLS), masyarakat melek digital, masyarakat melek literasi finansial, dan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang didalamnya literasi dan numerasi sebagai  mata ujinya. Bahkan, kebijakan terbaru ialah adanya tes literasi berbahasa Indonesia, literasi numerasi, dan literasi berbahasa Inggris pada Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) 2023.
Tujuan dari semua program tersebut ialah memaksa masyarakat Indonesia untuk berliterasi. Mengapa dikatakan dengan diksi "memaksa"? Pepatah Jawa mengatakan bahwa witing tresno jalaran saka kulina. Sebuah rasa suka akan tumbuh karena terbiasa. Pembiasaan tersebutlah yang perlu ditekankan. Penekanan tersebut diperlukan karena membaca dan menulis belumlah menjadi sebuah kebiasaan di Indonesia.
Akan sangat jauh rasanya apabila kita bandingkan dengan tachiyomi yang telah menjadi budaya di Jepang. Â Tachiyomi merupakan kebiasaan membaca buku secara gratis di toko buku dan kafe. Aktivitas tersebut dilakukan dengan cara berdiri. Pemilik toko memang menyediakan buku baru yang telah dibuka segelnya agar dapat dibaca oleh pengunjung. Orang-orang pun memiliki antusiasme yang tinggi untuk membaca buku-buku tersebut. Hal tersebut disebabkan kebiasaan membaca telah mendarah daging karena telah ditanamkan sejak kecil. Akibatnya, tidaklah mengherankan apabila berdasarkan data World Population Review 2022, Jepang merupakan negara dengan tingkat kecerdasan (IQ) tertinggi di dunia. Hal tersebut berkorelasi pula dengan peringkat literasi negara Jepang yang menduduki peringkat atas di dunia.
Membicarakan literasi tidak dapat dilepaskan dari definisi literasi itu sendiri. Definisi literasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam beberapa dasawarsa terakhir. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III (2003) belum mendefinikasn literasi. Lema yang ada ialah literer, yakni berhubungan dengan tradisi tulis. Dua dasawarsa kemudian, KBBI daring (2022) mendefinisikan literasi sebagai (1) Â kemampuan menulis dan membaca; (2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; (3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup'.