Â
Tak ada lampu malam ini, aku membiarkan kamarku gelap gulita tanpa nyala warna. Mataku terus berkedip, menahan amarah yang sudah mengikat leherku, dan padam di kelopak mataku. Aku masih belum sanggup meluapkan kekecewaan ini kepada siapapun, tapi aku pun benci membiarkan dia meracuni kepalaku sepanjang hidup, atau menjadi akar yang siap mengikat kokoh pertahanan ini.Â
Apa kamu ingat bagaimana rasa sakit itu begitu hebat menindih tubuh mungil mu? Kamu masih ingat wajah bajingan itu menikmati kehancuran hidup mu? Kamu, itu aku. Sebuah adegan dalam film yang mempertontonkan seorang anak yang ditindih ayah kandungnya sendiri, seorang anak yang pada akhirnya menjadi perempuan yang tumbuh tanpa perasaan, dan perempuan yang memadamkan sorot matanya karena trauma.Â
"Diam, Nak. Ayah akan mengajarimu sesuatu!" bisik bajingan itu ke telingaku, sambil membekap mulut kecilku yang tak sanggup mengartikan ini apa.Â
Mataku nanar, dadaku semakin melaju tak tentu. Kebencian ini menjadi benar-benar kutukan di dalam hidupku. Sialnya aku harus terus mengingat semua ini, bahkan sampai aku telah bersuami.Â
"Ayah! Sakit!"Â
Tapi ucapku hanya ucap seorang bocah, bocah yang tengah belajar dari sang ayah bagaiman menindih dengan benar.Â
Inilah enam tahun ku berlalu menjadi anak yang berbakti untuk ayah ku, enam tahun hidup dalam Kungkungan yang tak siapa pun tahu bagaimana telah porandanya tubuhku. Setiap malam, setiap sepi, setiap kali ibu pergi. Ayah begitu menyukai ku untuk bermain menindih kembali, dan lagi.Â
Ku lemparkan ludah ke atas celana milik ayah, menginjak atau bahkan membuangnya masuk ke dalam saluran air yang hitam dan bau busik. Mungkin jika aku sanggup aku ingin bukan celana dia yang sanggup ku ludah'i, wajahnya, atau seluruh tubuhnya.Â
"Kenapa Tuhan tak membiarkan ia cepat mati?" aku berkata di dalam gelap gulita.
  Suamiku tak pernah tahu beban trauma ini, beban bagaiman istrinya pernah menjadi budak nafsu ayah, mertua dia yang begitu dia segani. Aku bahkan tak ingin dia mengerti, bahkan istrinya yang saban hari ia tiduri ini bekas mertuanya sendiri.Â