Mohon tunggu...
Kang Widdy
Kang Widdy Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

Sedang senang menggoreskan pena sehingga guratannya masih belum berpola

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Kemana Republik (Monarki) Ini?

6 September 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini hanya tulisan iseng saya sebagai bagian dari rakyat, semoga perasaan "galau" saya salah, mangkanya tulisannya juga bakalan kacau dan bisa jadi salah sekian %... :)

Kalaulah melihat jalannya republik ini pasca reformasi tahun 1998, Indonesia, kata orang-orang, mulai berjalan ke arah trek demokrasi yang sesunggunya setalah sumbatannya terkungkung lebih kurang 32 tahun. Tapi sya koq malah berpikiran agak lain, ya? Mari kita cermati hal-hal berikut ini yang saya rangkum "semau" saya:

1. Proses politik berupa pemilu dan pilkada trend-nya lebih cenderung menghasilkan pemerintahan monarki. Sudah banyak contohnya di banyak daerah, pilkada itu yang mencalonkan diri banyak yg turun temurun. Habis masa jabatan Ayah, anaknya disuruh maju, atau isterinya, atau anggota keluarganya yang lain. Bahkan isteri lebih dari 1, semuanya disuruh ikut pilkada. Ya kalau anggota keluarga penerus memiliki kapasitas yang memadai. Kalau hanya dipaksakan? Ada juga  daerah yang mulai gubernur sampai lurah (berdasarkan omongan desas desus sana kemari), berasal dari 1 silsilah keluarga. Tujuannya jelas untuk menutupi "kesalahan" pendahulunya. Nafas monarki udah mulai tercium baunya, sangat menyengat.

2. Biaya politik yang sangat tinggi, menyebabkan energi bangsa ini terkuras ke arah proses politik yang sangat tidak menguntungkan rakyat. Jor2an dana yg keluar untuk membiayai kegiatan politik sudah di luar akal sehat. Audit dana kampanye pun entah mempunyai taji atau tidak. Bacalon yang gagal, sudah banyak contohnya, stress berkepanjangan. apalagi kalau dana kampanye hasil utang kiri kanan. Untuk yang menang, tahun 1 pastilah untuk konsolidasi. Tahun 2-3 kemungkinan mencari dana balik modal. Tahun 4, mulai siap2 bertarung untuk pemilihan berikutnya. Tahun 5 sibuk pemilihan. Lah, kerjanya kapan? hehe...Proses politik di Indonesia ini menurut saya yg demikian awam, sungguh sangat memprihatinkan dengan hal2 yang sudah saya sebutkan tadi. Apakah sistem politik dan demokrasi saat ini adalah harga mahal yang harus dilalui sebagai proses pendewasaan rakyat dalam berpolitik, berbangsa, dan bernegara? Kalaupun iya, sampai kapan? Angka golput saja tren nya semakin meningkat. Hal ini secara logika sederhana sudah mencerminkan rendahnya tingkat kepercayaan rakyat, dan masyarakat semakin apatis terhadap proses politik berupa pemilu maupun pilkada.

3. Rendahnya hubungan antara presiden ke gubernur sampai bupati/walikota yang berasal dari partai yang berbeda. Ego para pemimpin sekarang begitu kentara. Merasa diri dipilih langsung oleh rakyat, tata hierarki kepemimpinan di republik ini jadi kacau. Karena berbeda partai dengan gubernur misalnya, walikota/bupati bisa seenaknya tidak memenuhi panggilan rapat, atau tidak mengindahkan kebijakan gubernur. Bagaimana akan berjalan proses pembangunan kalau koordinasi saja antara pusat dan daerah lemah?

4. "Pikiran liar" saya yang awam tentang ilmu politik dan ketatanegaraan mengatakan, bisa ngga, Parpol itu adalah murni sebagai kendaraan politik seseorang untuk menduduki jabatan politik tertentu. Setelah tercapai, lepas semua atribut kepartaiannya. Jadi di DPR itu tidak ada fraksi atas nama partai, yang ada fraksi atas nama tugas dan fungsi. Garis kebijakannya bukan dari komando ketua partai, tapi atas nama rakyat langsung. Toh mereka dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh pimpinan parpol. begitu juga untuk jabatan menteri dan presiden. Mereka sejatinya sudah menjadi milik rakyat begitu menduduki jabatan tertentu.

Sedikit hal tersebut di atas sudah sangat mengkhawatirkan. Kerja KPK pun akan semakin sulit karena angka KKN justru dibuat subur oleh sistem yang sudah di tata tadi. Dan bukan kekhawatiran akan terbentuknya negara federasi, melainkan NKRI akan terpecah belah ke dalam negara Kerajaan A, B, C dan seterusnya.

Kekhawatiran dan kritik "ngawur bin dangkal" dari saya, juga dibarengi tawaran solusi yang juga "ngawur bin dangkal".

1. Keluarga 1 garis lurus ke bawah dan ke samping, tidak boleh mencalonkan diri sebagai calon pemimpin 1 periode setelah periode jabatan keluarga yang menjabat berakhir.

2. Semua jabatan strategis di daerah, yang bukan didapat melalui proses pemilu/kada, dilakukan melalui "open bidding" yang transparan seperti yang telah dirintis Jokohok (tapi jujur, saya bukan fans mereka hehe)

3. Perlu dibuat kajian yang cukup, berapa sih total penghasilan selama menjabat jadi presiden, anggota legislatif, gubernur, dan semua jabatan lainnya yg diperoleh lewat pemilu/kada. Sehingga dapat dibuat aturan, maksimal dana kampanye ditetapkan, ambillah contoh misalnya 30%, dari total "prediksi" penghasilan yang akan diperoleh selama menjabat nanti. Hal ini sepertinya bisa mengurangi "pikiran liar" orang2 yang terpilih untuk mengusahakan kembali modal setelah menjabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun