Pada suatu hari saya dan keluarga makan malam di rumah. Ada banyak makanan yang telah kami beli dan kami dapatkan sebelumnya sudah disiapkan dan ditata. Sejurus kemudian saya berniat memulai makan dan ingin mengambil salah satunya. Tiba-tiba istri saya berteriak. Eits tunggu dulu...: Cekrek! Cekrek! Cekrek!
Foto itupun kemudian diupload di status WhatsApp. Caption: makan boleh sederhana, yang penting kebersamaannya.
Beberapa temannya pun bereaksi dan mengomentari. Rona puas dan gembira memancar dari wajah istri saya. Tidak satu dua kali hal-hal seperti itu terjadi. Bahkan boleh dibilang tak terhitung. Bisa di rumah, di gerai makanan cepat saji, tempat makan tradisional, dan di tempat-tempat lainnya.
Kebiasaan yang lainnya adalah beli makanan online. Salah satu favoritnya adalah Ayam R**** (salah satu nama belakang seleberitis tanah air). Entah dari mana ia mendapat rekomendasi. Tetapi sepertinya ia suka sekali, dan memesan kembali berulang-ulang kali.
Dilihat dari tampilannya Ayam R**** ini memang agak menjanjikan. Ayam goreng dalam bentuk potongan-potongan dan dibalut dengan adonan berwarna kecoklatan tua. Di atasnya masih ditaburi dengan wijen kecil-kecil keputihan. Untuk kebutuhan status di media sosial, memang sepertinya Ayam R**** ini memang sangat bagus.
Lalu saya pun mencobanya. Argh...
Bagi saya sungguh tak sebagus penampakannya. Perpaduan rasa dan bumbunya sungguh tidak spesial. Hanya dominan rasa-rasa bumbu cepat saji. Kalau di suruh memilih, jelas saya lebih memilih masakan padang, atau soto lamongan. Tetapi karena saat itu tidak ada menu lain terpaksa saya makan juga, meski setelahnya perut saya menderita.
Tetapi reaksi berbeda ditunjukkan oleh istri dan anak saya. Mereka berdua tetap melahap dengan berseleranya. Enak, mantab, kira-kira begitu gumam keduanya. Dan setelah hari itu istri saya tetap memesan lagi.
Selain makanan on line, kesukaan lainnya adalah membeli minuman yang sedang viral. Semacam es b****, es k*** m***, teh p*** dan masih banyak lagi. Minuman-minuman yang booming dan bagus jika difoto dan dibuat status. Tetapi bagi saya tetap lebih suka jahe, dawet, es campur, bubur kacang hijau dan makanan tradisional lainnya.
Begitulah, dewasa ini memilih makanan khususnya bagi generasi milenial bukan hanya urusan lidah dan kegunaan untuk tubuh, ada budaya-budaya digital yang sangat mempengaruhinya. Cita rasa digital itu misalnya unsur fotogeniknya, keviralaannya, dan keunikannya. Dan itu semua memang juga berhubungan dengan konten dan media sosial yang merupakan budaya tak terpisahkan di era digital.
Apakah itu salah? Tidak juga. Dan bagi generasi muda yang ingin memulai usaha, bisnis makanan on line adalah sebuah ceruk pasar yang menjanjikan. Dengan adanya budaya on line juga mengubah pola konsumsi masyarakat. Alasan kepraktisan dan menghemat waktu mungkin jadi pertimbangan. Generasi milenial yang akrab dengan media digital tentu lebih fasih dan lihai untuk perkara ini dibanding generasi sebelumnya.
Makanan on line dan generasi milenial memang fenomena, dan mungkin tak terbayangkan pada dekade-dekade sebelumnya. Ada plus minus dan potensi besar dibaliknya. Tetapi faktor kesehatan dan keuangan seharusnya menjadi pertimbangan yang utama...I]