Dulu, sewaktu saya masih kelas 4 SD saya merasa tidak percaya diri (PD) dengan nama yang saya miliki. Saat itu, saya diejek oleh teman-teman saya, Â kerena nama saya jelek. Nama kok Slamet, ejek teman saya. Dalam benak saya juga berfikir, iya, ya... nama kok Slamet. Sebuah nama yang kampungan. Ndeso. Yang artinya juga jelek. Saat itu juga saya ingin nangis dan berontak. Kenapa saya dikasih nama Slamet. Kayak enggak ada nama saja.
Sepulang dari main dengan teman-teman. Saya langsung tanya dan protes kepada orang tua. Saat itu, yang saya tanya Mbah Dok (Nenek) dan Bapak.
Dengan arif dan sabar, Mbah Dok menjelaskan kepada saya. Sejarah kenapa saya diberi hadiah nama Slamet.
Kala itu, 36 tahun yang lalu, saat ibu melahirkan saya. Melahirkannya cukup di rumah. --Waktu itu, di desa belum ada klinik kesehatan. Puskesmas pun jauh. Belum ada transportasi seperti sekarang ini.-- Ibu mengalami pendarahan hebat. Dan sulit melahirkan. Ibu saya hampir meninggal. Bahkan sudah mati suri beberapa jam. Sehingga semua keluargaku panik. Tangis pun pecah.
Mbah Dok saya berdoa kepada Allah untuk keselamatan ibu dan saya. Beliau bilang, "Jika anak dan cucuku selamat. Maka cucuku saya kasih nama Slamet."
Alhamdulillah dengan ijin Allah ibu dan saya diberi keselamatan oleh Allah. Dan benar, nenek saya memenuhi nadzarnya. Akhirnya saya diberi nama Slamet.
Kemudian, bapakku menambahi nama di belakang nama Slamet dengan satu suku kata. Menjadi Slamet Widodo. Yang keduanya mempunyai makna yang sama. Kata Slamet Widodo sama artinya dengan Rahayu, Wilujeng. Â
Saya dikudang oleh orang tua saya. Agar saya bisa slamet dunia dan akhirat. Selain itu bisa menjadi manusia yang bermanfaat, katanya.
Saat itu, meski sudah dijelaskan panjang lebar oleh nenek dan Bapak. Saya masih belum bisa menerima sepenuhnya. Saya menilai bahwa orang tua saya salah dalam memberi nama Slamet kepada saya. Saya sudah kadung malu kepada teman-teman.
Seiring berjalannya waktu. Mulai kelas 4 saya sudah ikut ngaji bersama teman-teman di masjid. Waktu ngajinya habis maghrib. Diajar oleh Pak Takmir masjid, kami memanggilnya Pak Yai. Juga dibantu oleh bapak-bapak yang rumahnya dekat masjid.
Ustadznya tidak dibayar seperti sekarang ini. Tapi beliau-beliau ihlas membimbing saya dan teman-teman. Selesai ngaji, saya diminta ustadz untuk idek-idek (memijit menggunakan kaki) beliau. Saya manut.