Diakuinya kembali status Persebaya Surabaya sebagai anggota PSSI dan kembalinya tim Bajul Ijo ke Divisi Utama 2017 disambut suka cita oleh banyak kalangan. Para Bonek bondho nekat)—julukan yang melekat pada pendukung Persebaya—tentu menjadi kelompok suporter yang paling bersuka cita. Para Bonek juga mengucapkan terima kasih kepada PSSI (induk persepakbolaan di Indonesia), juga kepada Edy Rahmayadi selaku Ketua PSSI yang telah memenuhi janji untuk memulihkan status keanggotaan Persebaya.
Andi Peci, salah satu pentolan dari Bonek Mania, seperti dilansir bola.com menyatakan,
"Sesuai dengan komitmen kami, apa pun hasil Kongres kami akan menerima. Kami mendengar kalau Persebaya main di Divisi Utama, tidak jadi masalah. Komitmen suporter Persebaya, di manapun tim kesayangannya melakoni kompetisi tidak akan dipersoalkan. Jangankan Divisi Utama, mau di Liga Nusantara (kompetisi satu tingkat di bawah Divisi Utama) pun kami siap mendukung dan berada di Persebaya." (Suatu pernyataan yang menggetarkan hati dan membuat merinding mengenai kesetiaan pendukung fanatik dari Persebaya!)
Sebagai arek Suroboyo asli (yang telah hijrah sekitar 20 tahun silam), saya pun ikut berbahagia mendengar dan membaca berita tersebut. Saya pun segera bernostalgia mengenang masa kejayaan kesebelasan dari Kota Pahlawan pada masa lalu. Sebagai generasi 80-an, saya mengalami masanya ketika Surabaya menyertakan 3 klub pada pentas sepak bola kasta tertinggi di Indonesia pada masanya.
Bagi Anda yang lahir, hidup, dan besar pada tahun 1980-1990-an awal tentu masih ingat bahwa di Surabaya pernah ada tiga klub yang disegani, yakni Persebaya, Mitra Surabaya (awalnya bernama Niac Mitra), dan Asyyabaab. Persebaya ibarat 'anak sulung' sebagai klub tertua di Surabaya, diikuti oleh saudara mudanya, Mitra Surabaya (Niac Mitra), dan Asyyabaab.
Informasi dari sebagian isi buku berjudul Sepak Bola 2.0. yang saya peroleh dari internet membuat saya semakin sumringah karena Persebaya memang merupakan klub legendaris di Indonesia. Tim ini berhasil menjuarai kompetisi sepak bola nasional (Perserikatan) pada 1951 dan 1952 yang dihelat setelah Indonesia merdeka. Total sampai kompetisi digelar pada 1990, Persebaya berhasil juara sebanyak 4 kali (pada 1951, 1952, 1978, 1987/1988), dan 7 kali menjadi runner-up (pada 1965,1967,1971,1973,1976/1977,1986/1987, 1990.)
Sementara, dua saudara muda dari Persebaya, yakni Mitra Surabaya yang Assyabaab Salim Group berkompetisi di tingkat semiprofesional, atau yang dikenal dengan Galatama. Prestasi Mitra Surabaya, ketika masih bernama Niac Mitra cukup lumayan karena berhasil menjuarai kompetisi Galatama sebanyak 3 kali (1980-1982, 1982/1983, 1987/1988) dan menjadi runner-up pada tahun 1988/1989. Sementara Assyabaab bisa dikatakan 'kurang berhasil' dalam mengarungi kompetisi. Ketika kompetisi Galatama dan Perserikatan dilebur menjadi satu, dengan nama Liga Indonesia pada 1994, Persebaya membuktikan diri sebagai klub yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dua kali Persebaya berhasil menjuarai kompetisi, yakni pada 1997 dan 2004, lebih baik dari saudara mudanya.
Nama-nama tenar dari Surabaya
Dikenalnya Surabaya sebagai 'kota sepak bola' tidak keliru. Ada banyak nama yang tenar pada masa lalu—yang juga dikenal jago menendang bola—dari Kota Pahlawan yang banyak berjasa pada dunia sepak bola nasional. Nama-nama tersebut di antaranya: Jacob Sihasale, Abdul Kadir, Andjiek, Hamid Asnan, Rudy W. Keltjes, Didiek Nurhadi, Rusdi Bahalwan, Joko Malis, Mustaqim, Putu Yasa, Yusuf Ekodono, Bejo Sugiantoro, Eri Irianto, Anang Ma’ruf, Aji Santoso, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Mursyid Effendi, Mat Halil, Andik Vermansyah, Muhammad Taufiq, Fastabiqul Khoirot, hingga Evan Dimas Darmono, pemain asli binaan Persebaya yang kini memperkuat Bhayangkara FC.Â
Sementara untuk nama-nama pemain asing yang pernah bersinar di kompetisi sepak bola Tanah Air adalah: Carlos de Melo, Gomez de Oliviera, Jackson F. Tiago, Danilo Fernando, sampai Zeng Cheng, kiper Persebaya dari Tiongkok. (Cat: Nama-nama pemain yang bercetak tebal adalah yang saya 'tahu' atau pernah lihat mereka bermain di lapangan hijau (secara langsung atau lewat siaran televisi).
Klub dengan Militansi Pendukung yang Luar Biasa
Membahas Persebaya, kurang afdol rasanya jika menepikan perjuangan para pendukung yang tidak hanya dikenal fanatik, tetapi sampai pada tahap sangat militan. Ungkapan "tak ada kandang lawan yang membuat nyali menciut" rasanya tepat disematkan kepada kelompok pendukung militan Persebaya yang dikenal dengan sebutan Bonek tersebut. Pendukung militan ini pada masa lalu pernah mencatat sejarah—sekalipun catatan yang ada tak semuanya positif—sebagai pendukung yang pernah 'dipulangkan' dari 'kandang lawan' dengan berbagai alat transportasi.
Bus? — Sudah biasa!
Kereta api? — Sudah terlalu mainstream!