Pada hari yang sama saat Timnas Garuda Nusantara dipermak Timnas U-19 Korea Selatan (Korsel) empat gol tanpa balas, saya mengunggah tulisan di akun Facebook pribadi agar dukungan tetap diberikan kepada pasukan Indra Sjafri. Alasan saya, masih ada cukup waktu untuk berbenah dan menyiapkan diri menghadapi ujian sesungguhnya pada putaran final Piala Asia U-19, yang akan berlangsung di Indonesia.
Awalnya, saya senang ketika seorang teman menanggapi begini:
"Kita sudah level terbaik di Asia Tenggara, tapi masih berat untuk lawan-lawan dari Asia Timur, Timur Tengah, dan Australia."
Namun, kening saya sedikit berkerut ketika seorang teman lain menanggapi begini:
"Sampai kapan, Pak, dibenahi, karena dari dulu juga gitu-gitu aja. Puluhan tahun berlalu, tetapi skil dan fisik tim tidak berubah. Ekspektasi masyarakat terlalu tinggi."Â
Komentar yang terakhir mungkin lahir karena kawan saya sudah terlalu lelah untuk berharap, karena mengalami kekecewaan selama puluhan tahun, tetapi prestasi yang diharapkan belum kunjung datang. "Jangankan untuk Piala Dunia, tim nasional kita hingga kini belum mampu merajai Asia Tenggara, seperti yang dilakukan oleh Thailand selama ini," mungkin begitu yang dipikirkan oleh teman saya. Ya, prestasi timnas sepak bola kita seperti jalan di tempat, bahkan sesekali terlihat seperti berjalan mundur jika dilihat secara global mengenai kondisi persepak bolaan nasional.
Kekecewaan yang Mengendap Terlalu Lama?
Kekecewaan yang sama, seperti diungkapkan oleh teman saya tadi, mungkin juga dirasakan oleh jutaan pendukung setia tim nasional Indonesia. Memang, pada 2013 silam, Indra Sjafri berhasil membawa Evan Dimas, dkk menjuarai Piala AFF-19 yang kebetulan digelar di negeri sendiri. Namun tampaknya, prestasi itu belum cukup untuk menghapus dahaga prestasi tim nasional sepak bola kita, terutama untuk level senior.
Ya, kekecewaan yang mengendap terlalu lama karena beberapa kali kita di-PHP (diberi harapan palsu) oleh penampilan tim nasional yang dianggap cukup bagus, tetapi gelar juara dan prestasi juga masih belum berhasil digenggam. Luka paling dalam sepertinya ada pada momen Piala AFF 2010, dimana timnas senior kita yang bermain gemilang sejak pertandingan pertama, akhirnya harus takluk oleh Malaysia pada partai puncak. Irfan Bachdim, dkk kalah telak (3-0) pada final pertama di Stadion Bukit Jalil, lalu hanya bisa membalas dengan skor tipis 2-1 pada final kedua di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Sakitnya? Jangan ditanya! Kecewanya? Jangan diingatkan lagi! Bahkan hingga hari ini, mungkin ada banyak orang masih terkenang kembali dengan rasa sakit akibat kekalahan Timnas Garuda senior, walaupun sudah hampir 7 tahun berselang—termasuk saya sebagai pendukung berat tim nasional Indonesia.
Ekspektasi yang Diturunkan atau Kesungguhan yang Ditingkatkan?