Di kala senja mulai beranjak dengan malu-malu, burung-burung pun terbang ke peraduannya. Setetes keringat yang membasahi wajah. Dan ingatan akan tatapan masa kita pernah bertemu yang semakin jelas. Di kala itu, duduk termangu sambil menyeruput secangkir cokelat panas di tepi sungai nun jauh di sana didampingi dengan jingga matahari terbenam. Sungguh indah, damai dan syahdu suasana saat itu. Teringat kerinduan akan seseorang dan pesan di balik kerinduan yang semakin melekat di hati.
Tak kau hiraukan panggilan demi panggilan yang terus mengusikmu dari seberang sana. Seakan timbul tenggelam samar dan tidak terlihat. Apakah ini nyata atau hanya ilusi mata dan pikiran semata? Coba kau tanyakan dari hati yang paling dalam. Jujurlah pada dirimu sendiri untuk mengerti pesan-pesan kedamaian dari seseorang tersebut. Cukup sulit memahami arti semua perjalanan yang telah terlewati. Pertemuan memang menghasilkan sesuatu. Setiap ada pertemuan dimulai juga adanya suatu perpisahan yang kadang tidak ingin kita lewati.
Tapi yakinlah bahwa persinggahan itu ada, termasuk persinggahan hati. Di mana masa singgah menentukan arah ke depan untuk sebuah impian yang besar. Semakin merenungi apalah arti semua ini, atau hanya sekadar retorika yang memang tidak perlu dijawab dan ditelusuri. Bagai menelusuri satu buah jarum di setumpukan jerami. Ya memang cukup sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan, jika kita tidak pernah mencobanya.
Hanya senja jingga nan merah yang selalu menemani perasaan ini. Perasaan yang khawatir dan ketakutan akan ketidakpastian. Sangat aneh kadang diri ini tidak menyadarinya kapan rasa itu datang. Rasa yang datang dan silih berganti menjadi tingkatan demi tingkatan.
Dalam tatapan penuh harap seakan melihat seseorang di sana yang mengharapkan pesan ini tersampaikan. Ku akui memang cukup sulit untuk membaca pesanmu kali ini. Semakin mencoba untuk mengerti, semakin menjadi dan meningkat pula rasa yang terus datang tiap waktu dalam setiap detakan jantung dan nadi.
Ombak pun berdesir seakan mengejek manusia yang duduk di depannya. Seakan memberitahukan bahwasanya batu karang yang keras pun akhirnya dapat berlubang dan pecah oleh ombak yang silih datang berganti secara terus menerus tanpa mengenal kata lelah. Ombak yang menghapus tulisan-tulisan bisu di pasir pantai seakan terlalu cengeng untuk menamainya. Ombak di kala senja yang semakin hilang seakan menyampaikan pesan balasanmu lagi yang entah kapan harus memulai mengerti.
Burung-burung pun bernyanyi, sang katak menyambut dengan tawanya. Diri yang mulai menertawakan kekonyolannya, sampai kapan akan terus begini untuk terus bimbang dan ragu. Mulailah melangkah menetapkan tujuan demi impian-impian yang sempat tertuliskan di atas kertas lusuh itu.
Masih ingatkah kau dengan impian-impian itu, atau bahkan sudah melupakannya. Padahal dari tulisan sederhana di kertas lusuh yang sempat hilang itu diri ini berdiri di sini, di atas pijakan mimpi yang terus membanjiri. Seolah kau sudah tersadar dari lamunanmu, beranjak pergi meninggalkan sang malam yang siap untuk menyambut dinginnya udara pantai kali ini.
Selamat tinggal lamunan dan pesan kebimbangan yang membuatku ragu. Siap melangkah lebih pasti untuk meraihnya demi impian yang lama tertunda. Kelak esok nanti di kala sang mentari tersenyum kembali kita dapat berjumpa di lain waktu bersama melihat ufuk terbit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H