Mohon tunggu...
Wido Cepaka Warih
Wido Cepaka Warih Mohon Tunggu... Lainnya - Urip iku urup

Suka bertualang, pembelajar, pernah menjadi tenaga pendidik di pelosok dan pendamping pulau-pulau terluar, pemerhati masyarakat, isu sosial, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat untuk Bapak

30 Januari 2017   12:45 Diperbarui: 30 Januari 2017   12:58 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teruntuk Bapakku tercinta,

Bapak,

Tak terasa waktu cepat berlalu, putramu yang dulu nakal kini sudah beranjak dewasa. Putramu yang baru saja kemarin menyelesaikan jenjang perguruan tinggi dan juga baru mendapatkan pekerjaan, sebuah mimpi Bapak beberapa tahun silam bahwa putra pertamamu ini harus bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi entah bagaimana itu cara dan segala daya upaya. Dan beberapa mimpimu kini telah terwujud Pak !

Baru saja kemarin rasanya berada di pundakmu, sekarang putramu yang nakal ini sudah melewati usia kepala dua. Rasanya baru kemarin, Bapak meminta kami untuk rajin belajar, belajar dan belajar hampir setiap waktu. Bapak yang selalu mengawasi perkembangan sekolah kami. Mengawasi kenakalan-kenakalan kami di sekolah maupun di rumah. Bahkan Bapak-pun tahu dan mengerti pada saat aku berkelahi dengan teman di sekolah dan di lingkungan rumah, maupun pada saat aku ditilang oleh polisi pada pagi hari waktu akan berangkat ke sekolah.

Bapak yang paling paling keras mengajariku belajar membaca dimulai dari harus mengeja huruf satu per satu yang Bapak tempelkan di papan tulis hitam kecil kami. Sederetan abjad dari A sampai dengan Z ditambah dengan angka-angka yang sekarang selalu melekat dalam pikiran. Dari papan tulis hitam kecil itulah, aku belajar membaca, hingga lancar sampai sekarang.

Bapak yang selalu menerapkan disiplin dalam kehidupan kami. Bapak yang keras, tetapi sangat lembut hatinya. Di pagi buta kami harus segera mandi untuk berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Kadang jika air di sumur kami mulai mengering, aku harus berlari sehabis Subuh ke tempat pemandian terdekat di sungai. Menerobos rasa takut dan dingin demi sebuah impian dan masa depan.

Bapak yang memastikan kami berangkat ke sekolah tepat waktu, Bapak tidak mau kami terlambat ke sekolah. Bapak yang selalu mencari kabar dari guru-guru kenalan Bapak mengenai tingkah laku kami di sekolah, sebegitu besar rasa sayang bapak kepada kami. Bapak yang selalu memastikan kami pulang sekolah langsung pulang ke rumah, tidak boleh main ke rumah teman dahulu karena ada beberapa tugas yang harus kami selesaikan.

Setelah pulang dari sekolah dasar, kami bergegas makan siang dan istirahat. Di sore harinya, kami dilatih bapak untuk mencari rumput buat kambing-kambing kami di rumah. Kadang dengan perasaan masih mengantuk, kami berangkat ke sawah atau tempat biasa kami mencari rumput. Pada petang harinya, kami harus segera mandi dan berangkat mengaji di surau. Bapak paling keras kepada kami dalam hal ini. Kami harus disiplin untuk mengaji dan khatam Al Quran. Bapak selalu memastikan hal tersebut. Bahkan aku teringat sempat pindah tempat untuk belajar mengaji beberapa kali. Bapak yang mengaturnya, ingin agar kami maju dalam hal pengetahuan juga agama untuk keseimbangan dalam hidup nantinya dan bekal kami kelak dewasa.

Bapak pula yang meminta kami untuk belajar adzan dan benar hampir tiap sore kami berangkat ke surau untuk adzan bahkan pernah sampai ke masjid di desa sebelah. Apalagi pada saat bulan puasa, Bapak tidak henti-hentinya mengingatkan kepada kami untuk segera ke masjid jika sudah mendekati waktunya, agar kami bisa adzan terlebih dahulu. Sungguh mulia sekali niat baikmu, Pak ! Bapak yang selalu menyuruh kami tetap diam di rumah sehabis sahur daripada ikut teman-teman sebaya kami keluyuran untuk main bola sehabis Subuhan. Bapak lebih memilih untuk meminta kami belajar dan mengaji di rumah saja. Walaupun kadang-kadang, aku juga sempat bergabung dengan teman-temanku tanpa sepengetahuan bapak.

Bapak pula lah yang mengajari kami untuk berlatih puasa baik pada bulan Ramadhan maupun hari-hari biasa. Kita belajar untuk puasa penuh dan belajar puasa Senin Kamis di hari biasa. Bapak dan Mamak yang selalu membuatkan tumpeng atau perayaan kecil dari beliau setiap kami berhasil melaksanakan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh puasa tanpa ada yang bolong-bolong.

Bapak yang selalu bersikeras membangkitkan semangat mimpi-mimpi kami untuk sekolah lebih tinggi. Bapak yang selalu memotivasi kami dalam setiap langkahnya. Bapak yang bersikeras menyekolahkan saya di SMP favorit di kota sana, Bapak sangat yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa aku pasti bisa bersaing dengan anak-anak lainnya. Berkat usaha dan doa, aku lolos ke SMP tersebut sampai tetangga kami bahkan heran kenapa hal itu bisa terjadi apalagi setelah aku masuk ke kelas unggulan dengan beban biaya sekolah waktu  itu terasa bagi Bapak masih berat. Bapak akan mengusahakan jalan halal apa saja demi keberlangsungan sekolah anak-anaknya. Setelah lulus sekolah menengah, Bapak semakin besar tekadnya untuk menyekolahkanku di SMA nomor satu di kota kami. Bapak terus mendorong semangatku agar terus terjaga dan berkobar untuk seleksi tersebut. Dan alhamdulillah, doa dan usaha keluarga kami terjawab, aku melangkahkan kakiku ke sekolah tersebut yang menjadi batu pijakan pada akhirnya untuk menuju ke jenjang perguruan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun