Mohon tunggu...
Widjaya Harahap
Widjaya Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - a quietude storyteller

write for soul enrichment and enlightenment

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi, Bencana Alam, dan Secercah Harapan

19 Januari 2021   07:49 Diperbarui: 19 Januari 2021   08:04 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak awal tahun 2020 tiba-tiba dunia menderita sakit. Seluruh sendi-sendi kehidupan kita, penghuninya, menjadi goyah dan melemah. Segenap aspek kehidupan terdampak parah. Hampir semuanya: politik, ekonomi, sosial, budaya; menanggung akibatnya. Kecuali satu hal yang tegak bertahan: kemanusiaan kita.

Tak terhindarkan sakit juga menjangkiti negeri kita, Indonesia. Kita tidak luput dari derita dunia. Kita ikut terhenyak dirundung pandemi. Diiringi kemalangan lain silih berganti. Ibarat seorang petinju yang sedang mencoba bertahan, kita ditinju bertubi-tubi oleh pukulan dari berbagai penjuru. Belum sempat menghela nafas dari pukulan pandemi, beruntun pula datang pukulan bencana alam. Belum kering air mata yang menitik akibat bumi diguncang gempa, sudah menderas pula air mata mengalir bersama banjir yang datang membawa nestapa.
***
Manusia bisa saja kehilangan rumah dan harta benda serta segala bentuk kekayaan, namun ia tidak boleh kehilangan harapan. Sebab nilai kemanusiaannya menggantung pada harapan yang dimiliki atau tidak dimilikinya. Premis ini menemukan ruangnya di tengah situasi sulit saat ini. Kemalangan yang dialami bersama menyemai-suburkan panggilan nurani kedermawanan. Kedermawanan masyarakat menjelma menjadi kesetiakawanan sosial. 

Tindakan menolong sesama tidak hanya menjadi monopoli kaum yang berkecukupan, yang masih hidup pas-pasan pun mengulurkan tangan meringankan beban saudaranya yang lebih membutuhkan pertolongan. Seluruh kiprah ini mengisyaratkan satu hal: harapan tidak boleh takluk kepada keputus-asaan. Kedermawanan mewakili harapan untuk melanjutkan hidup bersama-sama sesuai fitrah manusia sebagai makhluk sosial. 

Meskipun bertubi-tubi deras dipukul kemalangan, amsalnya kita hanya terduduk, tidak sampai jatuh telentang.  Harapan menyulut semangat untuk bangkit melawan. Membangkitkan kesadaran untuk mengambil posisi: aku ada untuk memberikan manfaat kepada sesama tanpa pandang bulu, tanpa melihat apa pun latar belakangmu. Selagi masih ada harapan, tak ada beban yang terlalu berat untuk dipikul. Lebih-lebih beban yang dipikul bersama. Sebagai fundamen dari harapan, kedermawanan adalah laku meringankan beban dengan pengorbanan.

Perihal betapa harapan mempunyai kekuatan dan pengaruh yang demikian besar sudah dibuktikan oleh perjalanan sejarah bangsa ini. Sejak jauh hari sebelum tahun 1908, mimpi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan bersatu dalam sebuah negara merdeka sudah tumbuh dan berkembang menjadi harapan anak-anak negeri yang tersebar di seantero nusantara. 

Pada tahun 1908 harapan ini menyublim menjadi cita-cita yang mendorong kebangkitan untuk memperjuangkannya. 

Dua puluh tahun kemudian harapan tadi menjelma menjadi ikrar dan perjuangan untuk bersatu dalam sebuah entitas kebangsaan. Tokoh-tokoh muda bergerak membangkitkan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan kendati pun menghadapi risiko ditindas oleh penguasa kolonial. Para pejuang itu rela dipenjara bahkan dibuang ke tempat pembuangan yang jauh, demi sebuah perjuangan membela harapan untuk mewujudkan sebuah entitas merdeka, yang entitas itu sendiri belum wujud keberadaannya. Ketika entitas negara yang bernama Indonesia itu masih baru sebatas harapan. 

Harapan untuk merdeka dan berdaulat yang memercikkan api dan mengobarkan semangat, meski berhadapan dengan konsekuensi untuk mencapainya mereka harus berkorban. Tidak sedikit yang, bahkan sebelum harapan bersama itu mewujud, telah mengorbankan miliknya yang paling berharga: jiwanya. Begitu dahsyatnya kekuatan sebuah harapan.

Foto: BBC.com
Foto: BBC.com

Hari-hari ini kita, umat manusia, diguncang prahara kehidupan. Untuk tetap tegak, meskipun kaki goyah akibat diterjang kemalangan berulang-ulang, hanyalah dengan memastikan kemanusiaan kita tetap kukuh berdiri meneguhkan harapan. Tidak ada tempat untuk keputus-asaan. 

Harapan yang mempersatukan untuk bersama-sama berhasil melewati kemalangan ini, membukakan pintu-pintu kalbu untuk saling singgah dan memberi tempat, saling mendoakan dan saling menguatkan. Dan tiada henti menumbuhkan harapan. Pada akhirnya, harapanlah yang mengingatkan setiap diri kita sebagai makhluk ciptaan-Nya untuk, dalam keadaan apapun, menunaikan kodrat kemanusiaan kita: membawa kabar baik bagi sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun