Hari itu hanya ada upacara bendera. Tidak ada jam pelajaran, sehingga murid-murid cepat dipulangkan dari sekolah. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Mumpung masih pagi aku mau menyempatkan menonton tukang koyok dulu. Di pekan kutengok seorang tukang koyok yang belum pernah kutonton. Mungkin orang baru. Memang lazim mereka datang berganti-ganti. Tidak jarang hanya datang sekali sesudah itu tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Bisa jadi muslihat untuk menghindari keluhan pembeli kalau obat yang dijual khasiatnya ternyata tak sesuai dengan yang dijanjikan.
Tukang koyok itu baru mulai menggelar lapaknya. Belum banyak orang berkumpul. Aku termasuk yang datang terlebih dahulu. Aku jongkok di deretan paling depan lingkaran penonton. Di sebelah kananku berdiri akong A Meng. Dalam bahasa Hokkian, akong artinya kakek. Kami anak-anak kecil memanggilnya begitu. Keluargaku akrab dengannya. Ketika melihatku ia menyapa dengan logatnya yang totok,
"Haiyya, Buyung titak sakola la."
"Sudah pulang, Kong," jawabku.
Ia ikutan jongkok. Tangan kirinya menggenggamkan selembar uang ke tangan kananku. "Jangan bilang-bilang Emak ya," ujarnya. Aku mengangguk. Kuselipkan ke saku kemejaku sembari kuintip. Nampakku gambar Jenderal Sudirman berwarna abu-abu di atas latar jingga: uang seringgit.
Sejenak kemudian kudengar ia bersendawa. Mulutnya menyebarkan aroma ciu yang tajam menikam penciumanku. Diikuti semburan nafas beraroma durian. "Akong mabuk lagi ya?" selidikku. "Haiyyaa, akong titak mabuk la," timpalnya. Suaranya serak dan bergetar.
Ia nampak gelisah. Wajahnya memerah bagaikan udang direbus. Aku percaya ia mabuk. Ada dua tiga kali lagi ia bersendawa. Sesaat sebelum ia menengadahkan kepalanya ke langit. Agak lama. Â Dirongrong perasaan cemas, dari sebelahnya aku terus memperhatikan. Warna udang direbus sudah sirna dari rona wajahnya. Meskipun sejatinya kulitnya putih, aku tahu kali ini wajahnya pucat pasi. Nafasnya tersengal. Mulutnya yang menganga memperdengarkan paduan sendawa dan suara dengkur. Sekejap saja. Lalu ia tergelimpang di antara kaki-kaki penonton lainnya. Tak sadarkan diri.
Aku dan orang-orang di dekat kami memekik karena terkejut. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Sesaat otakku tak bisa diajak berpikir. Seseorang berlari membawa tandu. Empat orang mengusungnya ke Balai Pengobatan. Mengiringi akupun ikut berlari. Dicekam perasaan bingung dan khawatir, angan-anganku melantur ke mana-mana.
Orang-orang yang tadi menonton tukang koyok pun bubar dan ramai-ramai menyusul ke Balai Pengobatan. Tak kuasa apa-apa lagi, tukang koyok itu hanya bisa melongo. Dia baru saja memulai koyoknya.
Di Balai Pengobatan miliknya, Mantri Baginda mengabarkan: akong A Meng sudah meninggal. Kena serangan jantung. Dadaku terasa seperti ditindih batu besar. Butir-butir air menitik dari mataku yang terasa panas. Sontak ingatanku dijejali kebaikan-kebaikannya.