***
Para tukang koyok ini pandai bercerita untuk memikat orang mendengarkan promosi barang dagangannya. Layaknya seorang story-teller kampiun, gaya bertuturnya menarik hati. Ceritanya ditingkahi dengan pantun, gurindam dan seloka. Kata koyok dalam dialek lokal bahasa Melayu artinya bual. Disebut tukang koyok mungkin karena kebanyakan cerita mereka cenderung membual. Tapi dengan kepandaiannya bercerita, bagi pendengarnya, tak penting benar soal kesungguhan isi ceritanya. Toh orang-orang suka pula dibuali. Buktinya berbondong-bondong orang yang menonton dan mendengarkannya.
Sebagai seorang anak aku selalu takjub dengan cerita-cerita mereka. Ketangkasannya bercerita dengan tempo cepat bagaikan mitraliur yang menghamburkan pelurunya, bagiku sebuah keterampilan yang mengagumkan.
Ada juga tukang koyok yang menambahkan daya pikatnya dengan keterampilan bermain sulap. Yang paling memesonakanku adalah seorang yang membawa sebuah koper berisikan sebuah barang yang berbentuk seperti radio, namun bukan radio. Di balik lidah penutup yang tembus pandang nampak dua buah gelendong pipih yang terhubung oleh helaian pita berwarna coklat muda. Bagian sangat panjang dari pita itu tergulung di kedua gelendong itu.
Pada satu adegan, sang tukang koyok mengeluarkan sebuah mikrofon dari koper itu. Ditekannya sebuah tombol dan kedua gelendong itu berputar searah putaran jarum jam. Sambil terus membual didekatkannya mikrofon ke mulutnya. Satu menit berlalu. Dipencetnya tombol yang lain, putaran berhenti. Dipencetnya tombol yang lain lagi. Gelendong kembali berputar arah kebalikan jarum jam. Pencetan berikutnya: kali ini alat di koper itu mengeluarkan suara persis apa yang tadi selama semenit diucapkan oleh tukang koyok itu. Luar biasa. Alat itu merekam suaranya!
Di antara kerumunan itu, dirikuseorang anak kampungterpukau oleh introduksi sebuah teknologi baru yang belum pernah kulihat: cassette recorder.
Yang paling absurd adalah tukang koyok yang merobek leher ayam putih yang dibawanya dengan gigi dan dengan kalem menyesap darahnya pada saat dalam genggamannya ayam itu masih menggelepar meregang ajal. Sadis.
Lelaki berambut panjang itu mengaku datang dari Papua. Aku tak percaya. Nampaknya tak seorang pun peduli apalagi ingin memastikannya.
Setelah sepenggal sesi koyok dan trik sulap, langkah berikutnya menjajakan barang dagangan. Beberapa orang sigap membeli. Belakangan kudengar cerita, orang-orang ini adalah kaki tangan si tukang koyok. Mengakali penonton supaya mereka pun tergerak untuk ikut membeli.
Sesi jualan sudah dimulai. Artinya tidak akan banyak lagi atraksi yang menarik. Aku berbalik dan menyelinap di antara tubuh-tubuh orang dewasa, keluar dari kerumunan penonton dan bergegas pulang. Membawa kenangan baru tentang nyanyian dari, katanya, kelompok band kondang dari Inggris. Yang tadi diceritakan tukang koyok dan diperdengarkan nyanyiannya dari pita perekamnya itu. Lagu yang rentaknya bernada riang. Sepanjang jalan pulang aku mengulang-ulangi secuil syairnya yang dapat jelas kudengar: "Obladi, oblada, laif gos on bra...."
***