Emek. Begitu panggilan saya kepada Ibu saya. Panggilan ini berawal sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Industri Pariwisata dan Bahasa Perancis merupakan salah satu kurikulum di Sekolah kala itu. Saking semangatnya ingin lancar berbahasa Perancis, saya mempraktikkannya dalam pembicaraan sehari hari meski hanya sepatah dua patah kata, seperti memanggil Ibu saya dengan sebutan mre yang dalam Bahasa Indonesia artinya adalah ibu.
Seiring berjalannya waktu, minat saya akan Bahasa Perancis menyusut dan entah mengapa panggilan mre kepada Ibu lambat laun berubah menjadi Mek, dan akhirnya Emek. Lucunya, tidak hanya saya tapi semua orang kemudian memanggil Ibu saya dengan sebutan Emek. Mulai dari kakak saya, adik, keluarga besar, tetangga, dan siapapun yang kenal dekat dengan beliau.
Tidak seperti Emek, memasak dan menjahit bukanlah kegiatan favorit saya. Meski saat sekolah dulu setiap ada perlombaan memasak, kelompok saya pasti selalu memenangkannya. Saya juga ingat baju anak-anak hasil jahitan saya waktu pelajaran tata busana di SMP dulu pernah terpilih untuk diikut sertakan dalam pameran busana di sekolah. Sayangnya, saya memang tidak pernah menekuni kedua hal tersebut di atas.
Pada suatu pagi saya menghubungi kakak di tanah air. Kami berdiskusi berbagai macam hal, termasuk kondisi Emek, terutama ingatannya yang kian menurun. Maklum, usia beliau kini hampir 90 tahun. Dalam perbincangan, saya juga sempat mengutarakan penyesalan saya yang kurang berinisiatif mengumpulkan resep-resep masakan Emek saat ingatan beliau masih kuat. Ternyata penyesalan yang sama juga dirasakan kakak saya.
Akhirnya kami memutuskan untuk menggabungkan resep yang sempat kami berdua dapatkan dari Emek, itupun jumlahnya hanya 15 resep. Rencananya saya akan menyusun dan mencetaknya sendiri di rumah untuk kemudian saya bagikan kepada anak-anak Emek lainnya, yah, anggap saja itu sebagai warisan dari beliau.
Ketika sedang menyusun resep-resep yang ada, pikiran saya melayang pada sebuah event menulis yang pernah saya ikuti di tahun 2020, saat itu Kompasiana bekerja sama dengan Kemendibud menyelenggarakan lomba menulis dalam rangka memperingati Hari Ibu dan saya sama sekali tidak pernah menduga kalau bakal terpilih sebagai pemenang pertama (baca di sini).
Satu hal yang tidak terlupakan adalah saat saya membacakan artikel yang saya lombakan itu kepada Emek (baca di sini), lalu mengatakan kepadanya kalau saya telah memenangkan lomba tersebut. Beliau menangis. Haru dan bahagia bercampur menjadi satu terpancar di wajahnya, meski tidak banyak kata keluar dari mulutnya, hanya ucapan singkat, "Terima kasih, yaa".
Pancaran wajah itu yang sekarang saya rindukan. Bagaimana saya dapat menikmatinya lagi? Otak saya berputar. Kerinduan akan Emek semakin dalam.
Walau cuma ada 15 resep yang berhasil saya kumpulkan, bagi saya, ini bukan sekedar resep, karena saat Emek menurunkannya kepada saya dan kakak saya, beliau juga menyelipkan cerita dan wejangan di dalamnya. Akhirnya terbersitlah ide untuk membukukan resep-resep Emek beserta cerita dan wejangannya itu.
Buku tersebut saya beri judul "Warisan dalam Kamar Pendaringan" saya dedikasikan untuk Emek dengan harapan saya dapat kembali menikmati wajah haru bercampur bahagianya itu.