Hari Sabtu siang sebulan lalu, tepatnya tanggal 14 November 2020 saat membuka laman Kompasiana, pandanganku terpaku pada sebuah event yang diadakan oleh Kompasiana bekerja sama dengan Kemendikbud.
Event yang bertemakan Ibu, Sekolah Pertamaku itu mengajak para Kompasianer menceritakan pengalaman dan opini tentang peran ibu sebagai sosok yang pertama-tama membantu anak mereka mengetahui banyak hal.
Ajakan tersebut entah mengapa menyentuh perasaanku yang paling dalam. Aku yang kini tinggal di belahan dunia lain kerap merindukan ibu. Terutama di saat pandemi tahun ini membuatku harus membatalkan perjalanan mudik ke tanah air menjenguknya.
Kerinduan yang sangat kuat itu menjadi pendorongku untuk mengikuti event tersebut. Tapi tentu saja sebelum menulis cerita tentang beliau, aku harus meminta izinnya.
"Me', boleh gag kalau aku menulis tentang Eme'?" Tanyaku. Eme', begitu semua anak-anak memanggilnya.
"Ah, Eme' udah tua, ngapain juga nulis tentang nenek-nenek!" Jawabnya dengan polos ketika kulontarkan pertanyaan tersebut lewat telpon.
"Eme' ingat gag dulu waktu anak-anak Eme' masih kecil dan karir daddy sempat terpuruk, Eme' melakukan banyak hal untuk mencukupi biaya sehari-hari juga biaya kami bersekolah?" Tanyaku dengan hati-hati.
Beberapa detik senyap. Aku tidak mendengar jawaban darinya. Mungkin pikirannya sedang menerawang, atau mungkin beliau tidak mendengarku. Maklum pendengarannya sudah sedikit berkurang.
Baru saja aku hendak mengulangi lagi pertanyaan itu, tetiba kudengar suara tawa renyahnya.
"Ha-ha-ha, kamu ingat aja! Terus ngapain nulis gituan? Seperti gag ada bahan tulisan lain. Lagian malu ah, kalau orang-orang nanti tahu cerita Eme'!"
"Tapi Me', dulu Eme' menjalankan semua itu tanpa mengeluh. Membesarkan enam orang anak kan gag mudah! Pengalaman eme' itu kalau diceritakan bisa menjadi inspirasi bagi para ibu jaman sekarang!"