"I fell by the wayside like everyone else
I hate you, I hate you, I hate you, but I was just kidding myself
Our every moment, I start to replace
'Cause now that they're gone, all I hear are the words that I needed to say"
Lantunan suara Lewis Capaldi melayang mengharu-biru kalbu. Irama syahdu menuntun angan ke dalam palung rindu nan pilu. Gemericik lirik mengalir lembut dalam kesunyian yang sepi, menyusuri bebatuan menuju hutan rimba takbertepi.
"When you hurt under the surface
Like troubled water running cold
Well, time can heal, but this won't"
Boyke menaikkan tombol volume saat suara drum mulai mengetuk lemah, melodi dan alunan petikan gitar menghantarkannya kepada angan yang disesalinya.
Matanya berkelana menembus jendela kaca. Benaknya mengembara menapaki jalan-jalan menuju ruangan di mana Devi berada. Ia rindu ingin bertemu dengan gadis itu. Lelaki itu merindukan bibir mungil yang selalu sengaja dimonyongkan sebagai isyarat ingin dimanja.
Tiga minggu lalu, ya dua puluh satu hari lalu!
Boyke membujuk Devi untuk ikut menghadiri acara pesta di rumah temannya. Devi sempat ragu. Pada masa penularan penyakit yang tidak terkendali ini, ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah saja. Baik saat sedang bekerja ataupun tidak.
"Sesekali keluar rumah kan gag pa-pa, aku butuh refreshing, kangen dengan teman-teman. Of course kangen kamu juga".
Devi tidak merespon rayuan Boyke. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Hatinya ingin mengatakan 'hayuk' tapi pikirannya melarangnya.
"Please...," tatapan mata biru Boyke menusuk jantung Devi.
Siapa yang sanggup mengatakan 'tidak' pada sihir bola mata biru itu?