Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, khususnya bagian timur atau lebih tepatnya di daerah Ciracas, nama jalan Pengantin Ali (penduduk lokal menyebutnya Nganten Ali) pasti sudah tidak asing lagi.
Mungkin banyak yang belum mengetahui mengapa jalan tersebut diberi nama Pengantin Ali. Menurut cerita yang tersebar turun-temurun, ini sejarahnya diawali sekitar tahun 1940-an.
Tersebutlah sepasang sejoli bernama Ali dan Emah. Mereka merayakan pernikahannya pada hari itu. Kebiasaan adat setempat, pasangan yang menikah di arak dengan menggunakan tandu ke jalan-jalan.
Ketika arak-arakan melintasi jalan yang licin selepas hujan, tandu yang menyusung pengantin oleng, menyebabkan pengantin wanita terlempar ke dalam kali Cipinang.
Melihat kejadian itu, Ali sang pengantin pria, tanpa berpikir panjang langsung terjun kedalam kali yang mengalir deras, berusaha menyelamatkan Emah.
Sayang takdir berkata lain, sepasang sejoli itu hanyut terbawa arus air. Warga setempat berusaha mencari mereka, tapi tidak berhasil.
Tidak berapa lama kemudian, ditemukan dua buah batu di tempat hilangnya sepasang pengantin itu dan penduduk lokal meyakini bahwa kedua batu tersebut adalah jelmaan dari pasangan Ali dan Emah.
Kejadian tragis ini begitu melekat di hati para penduduk asli di sana. Mereka percaya dan bahkan melarang calon pengantin melewati jalan pengantin Ali atau menggelar resepsi pernikahan di daerah itu karena khawatir akan membawa ketidakberuntungan.
Tersebutlah seorang kaya bernama James W Smith, yang sangat mencintai putri bungsunya bernama Alena Beatrice. Sebagai wujud cintanya, sang ayah berjanji akan menghadiahkan putrinya sebidang tanah yang ia namakan "Memento" apabila putrinya menemukan tambatan hatinya.
Alena adalah gadis cantik yang baik dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga, karena itulah ayahnya selalu menginginkan yang terbaik untuk Alena. Banyak laki-laki yang tertarik dan mencari perhatiannya. Seperti anak kesayangan lainnya, Alena mendambakan laki-laki seperti figur ayahnya yang selalu memanjakannya.