Sepasang mata bergeming menatap layar kaca yang terpampang di hadapannya. Tampilan adegan seru dan suara riuh memenuhi ruangan tengah. Tak lama, aku datang tanpa basa-basi duduk di dekatnya.
Adegan ini, entah sudah berapa kali disaksikan, seakan hiburan lain bukan pilihan.
Tak bosankah?
Perlahan kubuka buku yang sedari tadi dalam genggaman. "The Legend of The Fall", sudah kesekian kalinya buku ini kubaca ulang seakan bacaan lain bukan pilihan.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya?
Satu jam berlalu, baru kusadari tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, juga mulutku. Perasaan bersalah perlahan menggerayangi. Akhirnya, kuberanikan diri memulainya.
"Dad, maaf sudah satu jam aku di sini tanpa berbincang!"
Tatapan matanya yang tajam tiba-tiba menembus kornea mataku paling dalam. Kata-katapun meluncur dari mulutnya tanpa beban.
"Nak, berbincang itu layaknya garam. Selama kamu suka masakannya, tak perlu lagi ditambah garam. Kalau kamu menyukai orang di dekatmu, perbincangan tak selalu menjadi keharusan"
****
Lima belas tahun sudah kepergiannya. Kalimat itu masih pekat dalam ingatanku. Ruangan tengah ini masih seperti dulu, tempat di mana banyak kata-kata bijaksana lahir membesarkanku.