“Sama dong, temanku mau jemput, janjian di situ dekat pemberhentian bus biar dia nggak perlu masuk ke dalam”
Mendengar itu aku berharap dia tidak memainkan modus lainnya dengan menawarkan kebaikan untuk mengantarkan aku pulang. Satu hal yang pasti, akan kutolak mentah-mentah!
Tak lama setelah kakiku menginjak halte pemberhentian bus, terlihat bus yang kunanti datang menghampiri. Aku mengacungkan telunjuk kananku ke arah bus itu sekaligus sebagai kode bahwa inilah titik akhir interaksi antara aku dengannya.
“Aku payungi sampai naik bus mbak!” ujarnya.
“Terima kasih, kamu baik sekali!” kataku perlahan.
Dengan cepat kakiku melangkah masuk ke dalam bus. Sekali lagi kuucapkan terima kasih kepadanya. Kalau bukan karena kebaikannya itu aku sudah benar-benar basah kuyup.
Sebelum seluruh tubuhku masuk ke dalam bus, kusempatkan diri menoleh dan melemparkan senyum ke arahnya. Mataku terpaut pada kartu identitas yang tergantung di lehernya, tersemat nama “Tony” di sana.
Hatiku tergelitik, senyumku melebar. Kuraba tag nama yang lupa kucopot sejak keluar kantor tadi. Mumpung ingat, segera kumencopotnya. Ada cipratan air hujan di atasnya. Segera kuhapus cipratan yang membasahi tulisan “Rani” di situ dengan tangan kananku sebelum akhirnya kumasukkan ke dalam tas.
Sesaat setelah duduk, pandanganku melayang keluar jendela bus, tidak lagi kulihat sosok “Rahmat” atau “Tony” atau entah siapa namanya di luar sana. Kemudian pandanganku beralih lurus ke depan.
Ada pelangi. Aku tersenyum lagi. Kecantikan pelangi yang fatamorgana, mengingatkanku akan sepenggal kebohongan laki-laki yang menghiasi kebaikan kecilnya di bawah derasnya hujan hari ini.