Sumber Gambar [http://kampusungu.com/wp-content/uploads/2015/06/Psychologist-Vs-Psychiatrist.png]
Kebanyakan masyarakat di Indonesia memiliki asumsi bahwa psikolog dan psikiater itu sama. Mereka menanggap bahwa psikolog dan psikiater sama-sama orang yang mengurusi orang sakit jiwa bahkan tak sedikit yang memiliki pemikiran bahwa tugas psikolog dan psikiater adalah mengurusi orang gila. Asumsi ini tidak benar, tetapi tidak sepenuhnya salah juga karena keduanya memang mengurus orang yang mengalami gangguan jiwa (bukan hanya gila). Asumsi yang keliru ini harus segera diluruskan agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
Sebelum meluruskan perbedaan antara psikolog dan psikiater, penulis akan meluruskan asumsi yang ada di masyarakat yang mengatakan bahwa orang yang pergi ke psikolog atau psikiater adalah orang gila. Asumsi ini salah. Orang yang datang ke psikolog dan psikiater belum tentu gila. Orang yang sedang galau (bingung) akan pekerjaanya, percintaanya, atau masalah sehari-hari, mereka sah-sah saja untuk datang ke psikolog atau psikiater agar mendapat penanganan akan masalahnya tersebut. Sebenarnya penulis menyarankan datang ke psikolog daripada ke psikiater jika para kompasianer membutuhkan ‘pelampiasan’ untuk uneg-uneg kompasianer sekalian (untuk masalah-masalah yang ringan, seperti stress karena tekanan kerja, galau percintaan, dan lain-lain).
Selanjutnya adalah penjelasan perbedaan kedua profesi ini. Psikolog dan psikiater memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan yang pertama adalah dari jasa yang bisa mereka berikan kepada pasienya. Untuk psikolog mereka bisa memberikan jasa berupa tindakan non-medis seperti terapi, konsultasi, analisa penyakit melali assessmen dan lain-lain. Sedangkan untuk psikiater mereka hanya bisa memberikan tindakan yang bersifat medis kepada pasienya. Tindakan ini berupa pemberian obat. Jadi layanan yang mereka berikan berbeda.
Perbedaan yang kedua adalah latar belakang pendidikanya. Seseorang dapat disebut sebagai psikolog apabila ia sudah menyelesaikan studi strata satu (S1) kemudian melanjutkanya untuk mengambil pendidikan profesi sebagai psikolog, barulah ia boleh disebut psikolog. Sedangkan untuk psikiater latar belakang pendidikanya adalah kedokteran yang mengambil spesialisasi kejiwaan. Latar belakang mereka saja berbeda, masihkah kompasianer menyamakan dua profesi ini?
Idealnya, orang yang mengalami gangguan jiwa (tidak hanya gila), baik yang ringan seperti stress sampai yang berat seperti schizofrenia awalnya mendatangi psikiater. Biasanya psikiater akan bekerja sama dengan psikolog dalam menyelesaikan suatu kasus, sehingga langkah selanjutnya psikiater akan meminta psikolog untuk melakukan assessmen terhadap apa yang tidak benar dengan pasien mereka. Setelah proses assessmen mereka akan mengetahui gangguan yang di derita pasien. Untuk mengebalikan gangguan pasien tersebut psikiater akan menangani yang berurusan dengan medis (obat), dan psikolog menangani dengan terapi-terapi atau langkah non-medis lainya tergantung gangguan yang dialami oleh pasien.
Akan tetapi di dunia nyata tidak seperti keadaan ideal di atas. Psikiater lebih sering menyelesaikan kasusnya sendiri, karena mereka juga pernah belajar tindakan non-medis untuk mengembalikan gangguan kejiwaan. Dalam kasus ini, tidak semua psikiater yang melakukanya. Walaupun mereka mampu melakukanya, tetapi itu bukanlah hak mereka. Jika hal ini terus berlanjut, bagaimana nasib para psikolog klinis?
Apa yang ada di kenyataan inilah yang menimbulkan kesalahan asumsi di mata masyarakat. Karena hal inilah maka masyarakat menyamakan kedua profesi ini. Padahal kedua profesi ini berbeda. Mulai sekarang apakah kompasianer sekalian masih berpikiran bahwa psikolog dan psikiater sama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H