Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan orang lain untuk membantu pekerjaan kita. Namun, apakah kita menghargai orang lain tersebut hanya ketika kita membutuhkannya? Atau men-spesial-kan ia hanya karena sesuatu yang dia punya dan tidak kita punya? Lalu, bagaimana jika ada orang lain yang tidak memberikan manfaat untuk kita namun malah menyusahkan kita?
Seiring bertambahnya dewasa, bertambah angka pada umur, mungkin ini saatnya untuk kita melihat orang lain sebagai subjek. Melihat orang lain sebagai orang yang sama-sama memiliki pikiran dan perasaan. Melihat orang lain bukan karena 'ia siapa', 'ia punya apa'.Â
Kita tidak bisa mengendalikannya hanya untuk kepentingan kita. Bertanyalah, bukan sekadar menyuruh. Ketika kita ingin menyuruh ia berbuat kebaikan, tanya dulu 'mengapa ia memilih berbuat yang tidak baik?'. Mungkin jika seperti ini, kita menjadi orang yang berempati, bukan malah sering memaki.
Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan pada orang yang membuat kita susah atau berbuat kesalahan pada kita? Apakah kita berhak memarahinya? Jika itu suatu bentuk hukuman dengan niat baik agar dia berubah, maka boleh. Namun apa jadinya jika kemarahan itu hanya suatu bentuk ungkapan dengan tujuan melepaskan amarah kita? Bagaimana jadinya bila orang itu sakit hati?Â
Ketika kamu menyakiti orang lain, ingatlah bahwa bisa jadi orang yang kita sakiti itu adalah orang yang paling spesial untuk keluarganya, untuk ibunya, untuk ayahnya, atau untuk kakak dan adiknya. Punya hak apa kita tidak mengurusnya tapi berani menghakiminya?
Tulisan ini merupakan sebuah ungkapan penulis yang sedang merasa 'jengah' dan teringat dengan pertanyaan dalam games mobile legend 'why people hurt each others?'. Sebagai seorang mahasiswa psikologi dan tertarik dalam psikologi sosial, penulis merasa sangat penting bagaimana kehidupan bersosial kita. Sudah seharusnya kita berbuat baik pada orang lain, karena kita pun menginginkan hal yang baik.
Di satu titik, mungkin kita pernah menyakiti orang lain dengan ketidak sengajaan. Tetaplah jangan lupa untuk meminta maaf. Perlakukanlah orang lain sebagai subjek sebagaimana kita ingin diperlakukan, bukan sebagai objek yang kita butuhkan karena apa yang ia punya.
Sebagai seorang Muslim, lihatlah bahwa Rasulullah SAW. pun mencontohkan bagaimana mulianya akhlak yang ia tampilkan dalam kehidupan. Setiap orang yang berjumpa dengannya selalu merasa sebagai orang yang paling di-spesial-kan olehnya. Ketika melihat orang yang berbuat kesalahan, Rasulullah bukan menghakiminya.Â
Tapi justru kasihan melihatnya, meminta agar Allah memberikan hidayah untuknya. Semoga kita diberi kekuatan hati agar bisa menjadi orang baik di mana pun dan pada siapa pun. Baik yang tidak hanya kita tampilkan di luar, tetapi kebaikan dari hati yang terdalam dan memancar ke luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H