Aku ingat bagaimana menyenangkannya menghabiskan bulan Ramadhan di kosan basecamp Ngablak dengan mbak Pipik, Farah, Talitha, mbak Desma, dan Dewi yang hingga akhir masa kuliahnya memilih untuk menetap di sana. Aku sering numpang tidur di kamar Dewi karena tidak suka sahur sendirian.Â
Meski jauh dari keluarga dan tidak ada ibu yang membangunkan, kami punya Farah. Serius, dia bukan cuma alarm, tapi juga si rajin yang paling semangat masak lauk untuk sahur. Â Dia jarang sekali marah walaupun aku terlampau tidak tahu diri karena sering bangun saat semua santapan sahur telah matang. Ah Farah, tipikal istri idaman yang hingga kini masih menunggu pinangan.
Aku ingat bagaimana menyebalkannya menerjang banjir rob yang jadi langganan Semarang Timur, hujan-hujanan demi tugas liputan, berdebat panjang demi menyatukan pikiran, tidak tidur dua hari karena tugas editing video, bangun subuh demi mengumpulkan dana usaha acara dengan ngamen dan jualan di CFD, berselisih paham, tidak saling bertegur sapa, dan segala ego yang ternyata bisa mudah dilunturkan dengan makan bersama di angkringan.Â
Sesederhana itu..
Well, cerita 4 tahun rasanya tidak cukup jika dituliskan dalam halaman Microsoft Word. Kuhitung-hitung, hampir 5 bulan aku tidak berjumpa dengan mereka. Tapi aku cukup senang karena masih bisa melihat kelanjutan hidupnya dari laman media sosialnya.
Rasa-rasanya, aku sedang flashback. Aku juga pernah begini saat baru lulus SMA. Aku pernah merasa begitu rindu dengan teman-teman sekelas yang telah bersamaku selama 3 tahun.
Aku tidak mengerti kenapa tuhan menciptakan konsep waktu sebagai sesuatu yang tidak bisa diputar kembali. Bukan aku malas bergerak maju menuju masa depan, tapi waktu yang telah hilang selalu menyisakan kenangan. Dan sialnya, kenangan itu kadang terlalu liar. Selalu memaksa masuk untuk dijenguk. Padahal, dulu di masa-masa itu aku pernah begitu muak, sampai-sampai aku ingin segera beranjak menuju fase kehidupan yang baru.
Adegan-adegan itu masih berputar di kepalaku. Â Meski tidak semuanya menyenangkan, ternyata tetap manis bila telah menjadi kenangan. Yang kuherankan, bagaimana bisa sepotong kenangan itu begitu magis? Bagaimana bisa sepotong kenangan mengubah hal-hal yang dulunya terasa biasa menjadi rindu yang sangat menyiksa?
Mungkin komposisinya begini. Waktu, kehidupan, dan kenangan, selalu dihadirkan dalam satu kemasan. Seiring waktu berputar, seiring kehidupan baru berjalan, sesekali kamu akan menengok ke belakang. Bukan apa-apa, kamu hanya perlu melihatnya kembali, sebentar saja. Setelah itu, pilih sendiri, akan kau tertawakan, atau kau tangisi semalaman.
Oh, aku lupa, ada satu komposisi yang tertinggal. Rindu...
Aku percaya, beberapa tahun ke depan, memoriku akan memutar roll-roll film kehidupanku saat ini. Bersama dengan orang-orang yang kini mulai masuk dalam kehidupanku dengan perannya masing-masing. Tak apa, aku hanya perlu menjenguknya. Tanpa sapa, tanpa tanya, cukup mengenangnya saja. Seperti berbincang dengan sekelebat rindu yang sedikit mengganggu.