Saya sedikit tertegun ketika mendapati kamarnya yang berisikan delapan orang. Lebih tertegun lagi saya ketika teman saya bilang bahwa jumlah tersebut termasuk sedikit. Ada juga kamar yang ditempati oleh 15 orang. Selama sepersekian detik saya berusaha tetap tenang meski dalam hati kaget bukan kepalang. Tidak terbayang bagaimana teman saya berhasil mondok selama hampir 9 tahun!
Dulu sekali, waktu saya tamat SD, orang tua saya sempat ingin memasukkan saya ke pondok pesantren. Waktu itu saya terang-terangan menolak. Berpisah jauh dari orang tua menjadi hal paling berat yang belum sanggup saya lakukan.Â
Apalagi bayangan tentang pondok pesantren yang serba disiplin dan tidak memperbolehkan santrinya menonton tv membuat saya yang saat itu masih berusia 11 tahun mantap  untuk bilang tidak.
Meski demikian, banyak teman-teman saya yang langsung mondok setelah lulus SD. Orang tua mengambil peran penting dalam keputusan ini. Mengirim anaknya dengan usia masih sangat kecil untuk menuntut ilmu dan hidup jauh dari orang tua tentu bukanlah hal yang mudah.Â
Namun, pemahaman dan prinsip yang kuat akan pentingnya menanamkan pendidikan agama sejak kecil pada akhirnya mampu mengalahkan perasaan 'eman' dan sedih dalam hati orang tua, terutama ibu.
Ada sepotong penyesalan dalam hati saya kenapa dulu tidak memberanikan diri untuk mondok. Kalau saya lihat teman-teman saya yang alumni pondok pesantren itu keren, lho! Mereka memiliki kemampuan public speaking yang lebih baik dari saya. Pengetahuan agama yang baik juga menjadi nilai plusnya.Â
Selain itu, mereka juga kebanyakan memiliki sikap disiplin dan mampu menyelesaikan tugas sebanyak apapun secara tepat waktu. Teman saya pernah berseloroh bahwa itu semua adalah hasil dari sengatan setrum waktu dihukum di pondok pesantren dulu. Saya hanya tertawa dan menerka-menerka, "itu beneran nggak ya?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H