"kamu kok gendutan sih?" Kalimat sederhana ini jika dilontarkan berulang kali bisa memberikan impact yang besar dalam diri seseorang. Body shamming atau ungkapan celaan tentang bentuk tubuh secara sadar maupun tidak sering kali meluncur begitu saja dari mulut kita. Sepele memang, namun bagi mereka yang menerimanya, hal ini bisa berdampak besar, terutama bagi kejiwaannya.Â
Selain mengikis rasa percaya diri, body shamming juga akan meninggalkan perasaan insecure yang membekas.
Semakin sering orang menerima ucapan body shamming, semakin kuat pula mindset 'harus kurus' tertanam dalam dirinya. Mereka akan mulai melakukan berbagai macam usaha untuk menghilangkan image 'gendut' yang disandangnya, sehingga tidak akan ada lagi orang yang mencelanya.
'Memang kenapa sih kalau gendut? Banyak kok orang kurus yang pengen punya badan gendut berisi.' Betul sekali, memang jika dilihat dari kacamata orang lain yang tidak merasakannya, body shamming tentang badan gendut bukanlah masalah besar yang harus dipikirkan siang malam. Namun, lain halnya dengan mereka yang menerimanya. Body shamming adalah momok yang menyakitkan. Hiperbolis, ya? Memang begitulah adanya.
Sedikit cerita, dari kecil saya memiliki perawakan badan kurus dan susah gemuk. Saya termasuk orang yang doyan makan, bahkan makan lima kali dalam sehari adalah hal biasa bagi saya. Tapi badan saya tetap stuck tuh, nggak gendut-gendut. Padahal saya pengen banget gendut. Menginjak usia 20-an, berat badan saya naik cukup drastis, 10 kilo! Berat badan saya yang awalnya hanya 45 kilo, melonjak menjadi 55 kilo. Saya kaget tapi lumayan senang. Toh, inilah yang dari dulu saya inginkan.
Banyak teman bilang saya gendutan. Saya hanya menanggapi dengan senyum dan candaan. Tapi, entah kenapa lama-lama saya kepikiran juga. 'masa sih aku segendut itu?'Â pikir saya.Â
Frekuensi mematut diri di depan cermin saya menjadi bertambah sering. Saya meneliti seinci demi seinci badan saya, mencoba mencari tumpukan lemak yang sukses membuat gelar 'gendut' tersandang dalam image saya. Memilih baju juga kini  menjadi  hal yang harus benar-benar dipersiapkan dengan matang. Saya sedih saat ingin memakai celana skinny yang kini sudah tidak cocok lagi dengan kaki saya.
Begitulah body shamming bekerja. Kalimat itu tidak memiliki wujud, namun tajam seperti senjata yang bisa dengan mudah menembus hingga ke relung hati. Katakanlah saya hiperbolis (lagi), namun memang begitulah kenyataannya.
'petaka' berat badan ini kerap kali memaksa seseorang untuk mengubah dirinya. Selain olahraga, diet menjadi pilihan untuk mewujudkannya. Namun, jika olahraga dirasa terlalu berat sementara diet sering kali lebih 'menyiksa', obat atau suplemen diet banyak dipilih sebagai salah satu jalan pintas yang dianggap lebih bisa membuahkan hasil tanpa harus menyiksa diri sendiri.
Umumnya, suplemen diet banyak dijual di onlineshop yang tersebar di Instagram maupun mobile marketplace. Bersenjatakan ratusan testimoni dari orang-orang yang telah berhasil menurunkan berat badan dalam kurun waktu singkat hanya dengan menelan satu butir pil diet ini setiap harinya, onlineshop tersebut bisa menjual ratusan bahkan ribuan botol setiap bulannya. Padahal, mereka yang menjual obat tersebut tidak memiliki basic dalam bidang kesehatan maupun obat-obatan, bagaimana dengan takaran dosisnya?
Dilansir dari CNNIndonesia, suplemen diet yang banyak beredar di seluruh dunia ternyata mengandung obat ilegal yang tidak disetujui peredarannya.Â